Apa Kabar Pilkada Serentak?
Riuh dan gegap gempita suksesi kepemimpinan, bagi para kadidat kepala daerah mulai dari Gubernur, Walikota dan Bupati di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota/kota yang mengikuti pilkada serentak pada 9 Desember tahun ini mulai terasa. Momentum ini bukan hanya menguji sistem politik dan pemilu kita, tetapi juga tentang kualitas demokrasi dari pemimpin yang akan dihasilkan, serta kesadaran rakyat dalam mengawal proses pemilihan kepala daerah serentak yang akan datang. Tujuan akhirnya adalah perbaikan kesejahteraan rakyat.
Kualitas Pilkada Serentak
Salah satu yang menjadi diskursus nasional terkait Pilkada Serentak kedepannya adalah, sejauhmana sistem politik terkait seleksi kepemimpinan daerah kita dapat berjalan secara efektif dan efisien. Sejak pertentangan regulasi terkait Pilkada tak langsung maupun Pilkada langsung (baca; Perppu No. 1 Tahun 2015), beberapa elemen atau kalangan merasa pesimis dan sebagian lagi begitu optimis bahwa pilkada serentak yang merupakan pengejawantahan dari UU No. 8 Tahun 2015 kali ini benar-benar dapat menghasilkan kualitas pemimpin yang diinginkan rakyat, sekaligus dapat menghemat anggaran dan mengurangi parktek-parktek kecurangan pemilu yang selama ini terjadi dalam setiap pemilihan kepala daerah.
Pro dan kontra akan keberhasilan pelaksanaan Pilkada serentak, dari awal menyuguhkan perdebatan antara pemerintah dan DPR untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah terbasar di dunia, jika hal ini terjadi. Bayangkan saja, dalam 1 hari kita akan memilih secara bersamaan 269 Kepala Daerah (Gubernur, Walikota, Bupati). Bukankah ini sesuatu yang membanggakan dalam sistem pemilu kita di Indonesia?
Dibalik euforia Pilkada Serentak diatas, tersirat juga harapan pesimisme tentang kualitas pemimpin yang akan dihasilkan. Dari evaluasi yang yang terjadi selama dalam proses perencanaan pilkada serentak, baik dalam bentuk peraturan maupun hal tehnis lainnya, ada beberapa hal yang krusial yang belum diselesaikan oleh penyelenggara.
Pertama, kesiapan teknis baik itu UU maupun PKPU terkait calon tunggal, walau saat ini KPU telah menyiapkan draf aturan pilkada calon tunggal yang merupakan amanat Mahkamah Konstitusi (MK), dimana MK mengabulkan perihal calon tunggal untuk mengikuti pilkada serentak kedepannya yang disebut referendum. Sementara referendum yang selama ini kita kenal sebagai jajak pendapat proses meminta persetujuan rakyat dalam mekanisme amandemen atau konstitusi yang bersifat krusial, terutama terkait perubahan suatu wilayah.
Disisi lain, jika benar calon tunggal dapat mengikuti pilkada serentak dengan referendum, hal ini menunjukkan bahwa praktek demokrasi kita masih sebatas prosedural untuk sekedar memilih pemimpin. Fungsi partai politik untuk menyiapkan kader dan calon pemimpin tidak berjalan sesuai amanat UU. Hal ini menunjukkan bahwa proses pilkada serentak semakinabsurd baik dalam mekanisme pemilihan maupun partai yang gagal dalam menyiapkan kader berkompetisi dalam pilkada.
Kedua, terkait dengan sejauhmana efisiensi penyelenggaraan pilkada serentak dapat mengatasi money politik atau minimalisir kecurangan pemilu yang dilakukan oleh para calon kandidat. Karena selama ini begitu banyak diskursus terkait penyelewengan pemilu, baik itu money politik, black campaign dan penyelesaian sengketa Pilkada di MK masih menjadi “PR” dimasa lalu yang sulit dibuktikan secara tertulis dalam ranah hukum walau nyata dimata masyarakat. Terlebih lagi soal, jumlah setoran para calon kandidat kepala daerah kepada partai politik untuk mengikuti pilkada, sulit untuk dideteksi, karena tidak adanya sistem yang jelas terkait transparansi dan akuntabiltas penyelenggaran pemilu. Hal inilah yang menyebabkan proses pilkada hanya berubah pada tataran regulasi, tetapi tidak secara substansi.
Waspada Keamanan Nasional
Selain masalah teknis diatas, salah satu yang cukup menjadi kekhawatiran penulis adalah kesiapan aparat keamanan dalam melakukan penawasan agar pilkada serentak dapat berjalan secara damai dan tanpa konflik. Terutama di daerah-dareah yang memang rawan konflik selama pilkada serentak berlangsung nantinya. Karena pada kenyataannya, hingga hari ini belum ada riak-riak yang menunjukkan potensi konflik akan berlangsung di beberapa daerah yang rawan konflik. Tapi minimal para aparat pengamanan yaitu Polri telah melakukan antisipasi terhadap konflik di daerah rawan semisal Daerah Tapal Kuda jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Tengah dan Papua.
Berdasarkan data kekerasan terkait pelaksanaan pilkada dimasa lalu yang dikeluarkan Institute Titian Perdamaian (ITP) Jakarta, terjadi 74 insiden kekerasan (12 persen) selama tahun 2009. Hingga bulan Juni 2010, terdapat 117 insiden (16 persen). Titian juga menyampaikan, sampai semester pertama tahun 2010 terjadi peningkatan jumlah insiden konflik dan kekerasan yang cukup signifikan dibandingkan dengan jumlah total insiden tahun 2009. Total insiden tahun 2009 terjadi 600 insiden, sementara sampai pertengahan tahun 2010 telah terjadi 752 insiden.
Sedangkan data Lembaga pengkaji masalah sosial politik, Internasional Crisis Group (ICG), mencatat sekitar 10% dari 200 pemilukada yang diselenggarakan pada 2010 telah diwarnai aksi kekerasan. Misalnya kekerasan yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi Selatan dan Toli-toli di Sulawesi Tengah. Temuan lembaga ini menunjukkan, kekerasan dalam pilkada antara lain
dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara pemilukada yaitu KPUD dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang tidak independen (partisan) dan tidak cerdas, serta konflik antar peserta pemilukada.
Data dari ICG 2010, menjelaskan bahwa jumlah kekerasan yang terjadi dalam 224 pemilukada yang terjadwal pada 2010 tidak sampai 10% (20 kasus kekerasan), sedangkan sepanjang pemilukada 2005-2008 mencatat ada13 kasus kekerasan. Walau kecendrungan potensi konflik pasca pemilukada belum pada tahap yang sangat mengkhawatirkan, tetapi tetap saja konflik dan kisruh pasca pemilukada yang berujung pada bentrok, pembakaran gedung, bahkan mengorbankan nyawa tetap menjadi perhatian kita semua dalam rangka mewujudkan demokratisasi dan pemilukada yang aman, damai, berkualitas dan meminimalisir potensi konflik yang dapat terjadi pasca pemilihan dan penetapan hasil pemilihan umum.
Sedangkan menurut mantan Dirjen Otda Kemdagri, Djohermansyah Djohan, kekerasan pilkada justru cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Rekapitulasi kerugian pascakonflik pilkada di provinsi maupun kabupaten dan kota menyebutkan, jumlah korban meninggal dunia 59 orang, korban luka 230 orang, kerusakan rumah tinggal 279 unit, kerusakan kantor pemda 30 unit, kantor polisi enam unit, dan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah 10 unit (situs Kemendagri).
Dari data dan fakta di atas, dapat dilihat bahwa pilkada yang tak serentak saja dapat menimbulkan konflik laten, apalagi jika dilaksanakan secara serentak. Pilkada serentak yang baru pertama kali akan diadakan di 269 daerah, dengan jumlah 810 kontestan pasangan calon untuk sementara (data KPU Juli 2015) bisa menjadi ancaman bagi stabilitas politik di daerah yang perlu diwaspadai. Jika 10 persen saja dari 269 daerah terjadi kerusuhan di wilayah, itu akan cukup mempengaruhi stabilitas politik serta keamanan nasional.
Hal ini tentu patut menjadi catatan oleh semua pihak yang berwenang, terutama oleh penyelenggara yaitu KPU, dipihak pengawasan yaitu Bawaslu dan Polri sebagai pihak pengamanan pemilu. Karena jika benar kerusuhan Pilkada serentak tidak dapat diantisipasi, tentunya hal ini akan mencoreng pelaksanaan demokrasi kita. Semoga euforia dan semangat berdemokrasi menuju pilkada serentak dapat menghasilkan pemimpin yang kita harapkan dapat memberi perubahan nyata terhadap kesejahteraan di daerah. Bukankah cita-cita demokrasi dan otonomi daerah sebagai upaya memperbaiki kesejahteraan rakyat, dan menjadikan pemimpin kita sebagai pelayan masyarakat?
Wallahua’lam bi al-shawab..
Penulis: Munawir Arifin (Koordinator Biro Profesi Akademik PB PMII / Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI)
ConversionConversion EmoticonEmoticon