STUDY GENDER DAN KELEMBAGAAN KOPRI


Konsep penting yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah Gender adalah membedakan antara konsep Gender dari konsep Seks (jenis kelamin). Pemahaman dan perbedaan antara konsep Gender dan Konsep Seks sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan yang menimpa kaum perempuan.

Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.

Gender adalah perbedaan antara Perempuan dan Laki-laki dari segi Sifat, Peran dan Tugas, Posisi, Fungsi yang dikonstruksi secara Sosial maupun Kultur. Gender juga dipengaruhi oleh factor Budaya, Agama, Social, Politik, Hukum, Pendidikan, dan Media. Karena Gender merupakan hasil rekonstruksi social, maka Gender biasa berubah sesuai konteks waktu, tempat, dan budaya. Tetapi masyarakat masih menganggap Gender sebagai sesuatu yang alami, sifatnya Kodrati dari Tuhan sehingga tak perlu lagi dipertanyakan dan digugat.

Seks adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi Biologis antara Perempuan dan laki-laki yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan. Perbedaan ini terjadi karena mereka memiliki alat-alat untuk meneruskan keturunan yang berbeda, yang disebut alat Reproduksi. hanya terletak secara biologis saja, seks (Kodrat).

Kodrat adalah kekuasaan Tuhan dimana manusia tidak dapat menentangnya sebagai mahluk Tuhan dan menjadi Hukum Alam yang tumbuh menurut Kodratnya.

Gambaran perbedaan Seks dan Gender
a.   Seks / Jenis Kelamin
·        Seks adalah perbedaan antara Laki-laki dan Perempuan secara Biologis, seks tidak dapat berubah dan atau saling dipertukarkan, karena seks sifatnya Kodrati berasal dari Tuhan.
·        Perbedaan seks sama diseluruh dunia, bahwa perempuan biasa Menstruasi, mengandung dan melahirkan, sementara Laki-laki tidak dan sifatnya universal.


b.   Gender
·        Gender adalah perbedaan peran, hak, kewajiban, kuasa dan desempatan antara Laki-laki dan Perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat.
·        Gender tidak sama diseluruh dunia, Gender berubah dari waktu kewaktu, dari tempat satu ketempat lainnya, dari kelas satu kekelas lainnya, tergantung kultur dan perkembangan masyarakat disuatu wilayah dan sifatnya lokal.

Berdasarkan konsep Gender perempuan dan laki-laki telah dibedakan dari segi sifat, peran, tugas dan posisinya.

Seringkali Perempuan mengalami ketidakadilan, bentuk-bentuk ketidakadilan itu berupa :
a.   Marginalisasi
Proses pemiskinan atau peminggiran perempuan yang mengakibatkan perempuan tidak berdaya secara ekonomi.
Contoh :
Ø  Peminggiran perempuan dari alat-alat dan sarana produksi karena penempatan perempuan disektor domestik.
Ø  Perkembangan Globalisasi

b.   Diskriminasi
Perbedaan perilaku terhadap seseorang atau kelompok dikarenakan jenis kelamin, ras, agama, status social dan suku.
Contoh :
Ø Memberikan keistimewaan kepada anak laki-laki daripada perempuan.
Ø Mengutamakan pendidikan laki-laki daripada perempuan karena laki-laki dianggap sebaai kepala rumah tangga yang akan mencari nafkah.

c.   Beban Ganda
Beban perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan reprodiksi didalam rumah tangganya sekaligus melakukan pekerjaan-pekerjaan produktif untuk mendapatkan penghasilan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan di lingkungan nya.

Faktor-faktor Pelestarian Ketidakadilan Gender

a.   Budaya Patriarki
Budaya yang menomor satukan laki-laki disegala bidang yang menjadikan perempuan termaginalkan dan mengalami penindasan.


b.   Penafsiran Agama
Penafsiran agama yang tidak berpihak pada perempuan, penafsiran agama yang selama ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki dan berdampak merugikan kaum perempuan dan melanggengkan pembagian peran, fungsi, posisi perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat.
Contoh :
Ø  Perbolehkan Poligami dalam Islam
Ø  Perbolehkan pemukulan terhadap istri
Ø  Kewajiban memperbolehkan memakai busana muslim
Ø  Pelarangan perempuan menjadi pemimpin

c.   Adat
Sama seperti didalam agama, gender pun didalam adat juga menguntungkan pihak laki-laki, misalnya ; seorang perempuan tidak boleh menjadi pemimpin didalam adat, dll

d.   System Pendidikan
Didalam pendidikanpun jelas, bahwa peran laki-laki selalu diatas daripada perempuan, Mengutamakan pendidikan laki-laki daripada perempuan karena laki-laki dianggap sebaai kepala rumah tangga yang akan mencari nafkah.

e.   System Hukum
System Hukum masih biasa didalam gender misalnya tentang UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada laki-laki (suami) untuk menikah lagi jika istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, dikarenakan istri cacat tubuh dan tidak dapat memberikan keturunan.

v Gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan.
v Menurut Shorwalter : “ gender mulai ramai dibicarakan pada tahun 1977, yang mempeloporinya adalah kaum atau kelompok Feminis (Inggris)
v Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi dimana kaum perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan kaum laki-laki.
v Kesetaraan Gender adalah sebuah misi dari kaum perempuan saat ini (menuntut kesetaraan Gender)
v Kesetaran gender tidak akan bisa terwujud jika tidak melibatkan pria atau wanita, sebab antara pria dan wanita sama-sama diuntungkan,saling menopang, saling melengkapi dengan adanya kesetaraan gender.


Kapan gender itu Tidak Masalah dan Gender Itu Masalah.?
Gender tidak menjadi masalah apabila terjadi kesepakatan antara kedua pihak (laki-laki dan perempuan) didalam pembagian tugas, dan kedua belah pihak itu memilliki kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan yang lain diluir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengembangkan diri.

Gender akan dipermasalahkan apabila adanya perbedaan (Diskriminasi) perlakuan dalam akses, partisipasi, kontrol dalam menikmati hasil pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Dan juga tidak adanya kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan didalam pembagian peran, tanggung jawab, hak, kewajiban serta fungsi sebagai anggota keluarga maupun masyarakat yang akhirnya tidak menguntungkan kedua belah pihak, jadi, dapat disimpulkan bahwa gender menjadi masalah jika ada ketimpalan relasi atau ketidak adilan antara lakai-laki dan perempuan dimana satu pihak menjadi sorban. Ketidak adilan gender bisa dialami oleh laki-laki ataupun perempuan, tetapi karena budaya kita yang patriarki atau yang mengutamakan laki-laki sehingga perempuanlah yang paling besar terkena dampaknya.

Siapakah yang Mengalami Ketimpangan Gender.?

Seperti yang telah diterangkan diatas, gender menjadi masalah bila ada salah satu pihak yang dirugikan. Pihak yang mengalami kerugian itu disebut mengalami KETERTINDASAN atau KETIDAKADILAN GENDER. Keadaan salah satu jenis gender lebih baik keadaan dan kedudukannya dari jenis gender lain disebut juga KETIMPANGAN GENDER. Ketimpangan atau Ketidakadilan gender tidak mutlak berarti penindasan perempuan, walaupun benar perempuan lebih banyak mengalami ketimpangan. Karena ketertinggalan salah satu jenis kelamin ini akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam masyarakat.


Apa Akibat Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender.?
Akibat dari ketidaksetaran dan Ketidakadilan Gender itu mengakibatkan :
1.   Penomor Duaan (Subordination)
2.   Peminggiran (Marginalination)
3.   Beban Ganda (Double Burden)
4.   Kekerasan (Violence)
5.   Pelabelan Negatif (Stereotype)

Apakah Jenis Kelamin Mempengaruhi Gender.?
Seringkali munculnya kebingungan tentang artinya  “Kodrat” dan “Bukan Kodrat” bagi laki-laki dan perempuan. Susunan tubuh perempuan (Kodrat) memiliki perempuan mempunyai tugas tertentu begitu juga laki-laki, karena itu, muncul pertanyaan : apakah gender dipengaruhi jenis kelamin.? Sering terjadi, kita menerima keadaan gender sebagai kodrat karena beranggapan bahwa perempuan sudah dikodratkan memiliki tubuh yang lemah, sedangkan laki-laki memiliki tubuh yang kuat, bahkan ada yang beranggapan bahwa laki-laki lebih cerdas dan terampil (Otaknya lebih besar) daripada permpuan. Rupanya sulit bagi kita melihat hal itu sebagai “hasil bentukan atau latihan”, karena sudah terlalu biasa menganggapnya sebagai sebagai kodrat”. Karena rata-rata perempuan kurang dilatih., sehingga kelihatannya sudah kodrat bahwa perempuan itu lemah. Kenyataannya, perbedaan secara fisik antara laki-laki dan perempuan bersifat relative atau tidak pasti bahwa perempuan tidak mampu melakukan pekerjaan berat, laki-laki juga banyak yang menyukai pekerjaan yang ringan, halus, dan lembut.

Apakah Bias Gender Itu.?
Pemikiran tentang bagaimana memperlakukan jenis kelamin tertentu namun belum tentu sesuai dengan yang sesungguhnya, misalnya : perempuan lemah, laki-laki kuat.? Pada kenyataannya tidak semua perempuan lemah, dan tidak semuanya laki-laki kuat.

Gender Dalam Perspektif Islam
Berbicara tentang konsep Gender dalam Islam sejumlah ayat dalam Al-Qur’an misalnya:
Q.S Al-Hujarat : 13, Q.S An-Nisa : 21, Q.S Al-A’raf : 187, Q.S Al-Zumar : 6, Q.S Al-Fatir : 11, Q.S Al-Mukmin : 67
Menegaskan :
¨      Segi hakekat penciptaan, antara manusia satu dengan manusia lainnya tidak ada perbedaan termasuk didalamnya antara perempuan dan laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas suatu golongan, suku, bangsa, ras atau etnis gender terhadap lainnya. Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki.
¨      Dari perspektif amal perbuatan keduanya dijanjikan akan mendapat pahala apabila mengerjakan yang ma’ruf dan diancam dengan siksaan jika berbuat yang mungkar (Q.S An-Nisa 4 : 24) dll. Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban beribadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan kewajiban untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatkan ilmu dan taqwa.

Senada dengan Al-Qur’an, sejumlah Hadist Nabipun menyatakan bahwa sesungguhnya perempuan mitra sejajar laki-laki, pada hakekatnya manusia itu sama dan sederajat mereka bersaudara dan satu keluarga.

Pada tatanan praktis Islam memberikan aturan yang lebih rinci berkaitan dengan peran dan fungsi masing-masing dalam menjalani hidup ini, dimana ada kalanya sama dan ada kalanya peran dan fungsi tersebut berbeda antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi perbedaan ataupun persamaan ini tidak bisa dinilai dengan adanya ketidakadilan atau ketidaksetaraan Gender. Dalam Islam, semata-mata merupakan pembagian tugas yang sama-sama penting dalam upaya mewujudkan tujuan tertinggi dalam kehidupan dimasyarakat tentunya dengan adanya keridhoan Allah SWT semata.




















Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI)

Sejarah KOPRI

Perjalanan sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen Keputrian dengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1966.  Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri pada kongres IV PMII 1970. Kopri mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting beda suara pada kongres VII di Medan.

Merasa pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca konres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah. Maka, terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29 September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan kebutuhan maka terjadi voting atas status KOPRI denga suara terbanyak menyatakan KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai maryati Shalihah.

Korps PMII Putri merupakan lembaga semi otonom yang mewadahi kader-kader perempuan untuk mengekspolorasi & mengartikulasikan potensinya serta mampu memberikan kontribusi positif bagi perancangan dan pengambil kebijakan strategis pemberdayaan perempuan. Oleh karena itu, kegiatan strategis diarahkan untuk mengkaji secara mendalam  faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan gender terutama dalam berbagai bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di  masyarakat  luas.
Di samping itu, KOPRI juga diharapkan mampu mendorong lahirnya pemikiran inovatif dan etika relasi sosial Islami yang sensitif gender dalam segala aspek dan bidang kehidupan, baik dilaksanakan  melalui affirmative program, koordinasi maupun evalusi terhadap efektivitas program yang telah direncanakan.

Pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan, merupakan tanggung-jawab kita semua untuk mempercepat kemajuan dalam membangun kesejahteraan. Berbagai tantangan yang masih ada dan yang akan datang akan lebih mudah diatasi jika dilakukan bersama. Oleh karena itu  sumbangsih  dan peran semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, civitas akademika dan pihak swasta akan sangat berarti.
Tujuan KOPRI adalah sebagai berikut :
1.   Mewujudkan peningkatan pemahaman dan kesadaran terhadap keadilan Gender dalam segala aspek kehidupan.
2.   Menggali dan mengembangkan konsep kemitrasejajaran dan keadilan Gender dalam perspektif Islam (Al-Qur'an dan Hadits)
3.   Membuat jaringan kerjasama berbagai instansi dalam rangka memotivasi terhadap kesadaran Gender dalam bidang peran publik, politik, domestik, ekonomi dan sosial.
Kegiatan yang dilaksanakan difokuskan pada :
1.    Meningkatkan kemampuan anggotanya dalam bidang Penelitian, Pelatihan dan Pengabdian kepada Masyarakat dengan cara mengadakan dan mengikutsertakan pada Pelatihan-Pelatihan, Lokakarya, Simposium dan berbagai Seminar Ilmiah yang berperspektif Gender (Islami).
2.    Melakukan kajian dan penelitian yang berperspektif Gender (Islami).
3.    Melakukan Pembinaan dan Penyuluhan kepada seluruh kader dan masyarakat terhadap berbagai persoalan yang terjadi ditengah masyarakat. Dan mengusahakan pembinaan kehidupan beragama.
















Tantangan Perempuan Indonesia
Bahkan kita cukup miris melihat keadaan yang carut marut di dalam negeri, menjadikan hilangnya sebagian kewibawaan bangsa di mata internasional
Laporan terakhir UNDP (2006) tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menempatkan Indonesia pada posisi 108 dari 177 negara yang disurvai. Posisi ini sekaligus mensyaratkan Indonesia berada pada level menengah IPM di dunia bersama negara tetangga seperti Thailand pada posisi 74, Filipina (84), Vietnam (109) dan Timor Leste (142). Berbeda dengan tetangga yang lain seperti Singapura (25), Brunei (34) dan Malaysia (61), yang masuk pada kategori negara dengan IPM level tinggi.
Keadaan ini tentu harus diakui sebagai sebuah kenyataan hasil pembangunan yang dicapai Bangsa Indonesia berdasarkan tiga aspek: ekonomi, pendidikan dan kesehatan Sejatinya, gambaran kuatitatif tersebut dapat menyadarkan semua elemen bangsa untuk bangkit. mengejar ketertinggalan.
Kita melihat banyak energi anak bangsa habis terkuras untuk ‘berkelahi’ dengan sesama saudara. Meskipun kita mengakui, proses tersebut sebagai harga yang harus dibayar untuk membangun sebuah bangsa yang berpilar demokrasi. Tetapi harus dicamkan pula, sampai kapan proses ini harus dilalui hingga tuntas? Bahkan kita cukup miris melihat keadaan yang carut marut di dalam negeri, menjadikan hilangnya sebagian kewibawaan bangsa di mata internasional. Hal ini bisa dibuktikan dengan memanasnya kembali sengketa Blok Ambalat dengan Malaysia dan perbatasan dengan Singapura.
Dari dua fenomena tersebut, kita semakin mempertanyakan adakah perhatian dan keseriusan pemerintah dalam peningkatan kualitas perempuan Indonesia? Karena, kita harus konsekuen terhadap Program Aksi yang disepakati pada konferensi internasional tentang kependudukan dan pembangunan berkelanjutan (ICPD) di Kairo, Mesir, pada 1994 yang dihadiri 10.000 perwakilan masyarakat sipil dunia. Dalam konferensi itu, 179 negara menyetujui visi 20 tahun (Program Aksi) untuk membina Keluarga Berencana (KB) nasional dan internasional, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS, pemberdayaan perempuan dan upaya pembangunan terkait lainnya
Negara juga harus bertanggung jawab, karena turut meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW) 20 tahun silam. Namun kenyataannya, banyak pihak melihat Indonesia lamban dalam mengimplementasikan kesepakatan internasional tersebut. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan, mestinya berperan aktif dalam mendukung peningkatan kualitas perempuan. Perempuan harus semakin dilibatkan dalam proses pembangunan dan pembuatan keputusan, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Data menunjukkan, ketimpangan akses terhadap pembangunan bagi perempuan masih cukup memprihatinkan. Di bidang pendidikan, angka buta huruf usia kurang 15 tahun, perempuan sebesar 45 persen dan laki-laki 23 persen (UNDP, 2004). Siswa putus sekolah usia 10-14 tahun, perempuan 36,2 persen dan laki-laki 32,1 persen BPS, 2003). Di bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) pada 2002/2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini cukup besar di antara negara ASEAN lainnya. Jumlah bidan desa yang cukup berperan membantu persalinan, pada 2000 sebanyak 62.906 orang justru pada 2003 berkurang menjadi 39.906 orang saja.
Sedangkan rasio tenaga bidan 71:100.000, artinya 71 bidan harus menangani 100.000 perempuan usia reproduksi. Atau bisa juga disebut, satu bidan harus menangani sekitar 1.400-an perempuan usia reproduksi. Lebih menyedihkan lagi, penurunan itu terjadi seiring dengan kebijakan otonomi daerah. Situasi tersebut mengisyaratkan, pemerintah setempat kurang mendukung upaya peningkatan kualitas perempuan di daerah. Seharusnya pembuat kebijakan menyadari, semakin tinggi kualitas perempuan berdampak positif terhadap produktivitas mereka.
Di bidang politik, UU Pemilu menyebutkan kuota 30 persen perempuan di kursi politik. Namun, hasil Pemilu 2004 hanya mampu mendudukkan 11 persen perempuan di parlemen. Skeptisme terhadap kemampuan masih menjadi hambatan utama perempuan untuk turut mengambil posisi di bidang yang strategis. Dan, jangan dilupakan kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam rumahtangga juga menunjukkan angka yang tinggi baik yang terdata ataupun yang masih belum terungkap
Fenomena ini mengungkapkan, kapasitas kelembagaan yang terbuka dan mendukung terhadap kiprah perempuan sangat diperlukan dalam rangka implementasi pengarus utamaan gender (PUG) dalam pembangunan. Karenanya, UNDP mengajukan enam syarat, yakni: pertama, pemahaman dan komitmen. Kejelasan tujuan kesetaraan gender dalam pembangunan pada level pembuat kebijakan dan birokrasi tingkat pelaksana di lapangan, serta komitmen untuk pencapaian tujuan tersebut baik secara individu mapun kelembagaan.
Kedua, struktur dan mekanisme. Jaminan perspektif gender terliput dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan dalam pemerintahan. Juga pelibatan lintas sektoral, monitoring kemajuan dan peran lembaga yang memegang tanggung jawab untuk tercapainya isu perempuan dalam pembangunan. Ketiga, data, informasi dan penelitian. Tersedianya input yang diperlukan seperti penelitian tentang situasi perempuan dan data lengkap berdasarkan jenis kelamin untuk mendukung rumusan kebijakan dan program.
Keempat, keterampilan perencanaan, analisis dan manajemen. Untuk mengidentifikasi dan menjawab perkembangan isu perempuan berkaitan dengan lembaga yang berwenang. Kelima, mekanisme partisipasi. Sedapat mungkin melibatkan partisipasi perempuan atau melalui perwakilannya dalam rancangan pembuatan kebijakan, perumusan dan penilaian program. Keenam, suberdaya keuangan. Tersedianya dana untuk implementasi PUG.
Di samping masih lambatnya pemerintah memacu kualitas sumber daya perempuan, niat yang baik harus selalu kita dukung. Upaya tersebut bisa kita lihat dengan terbitnya, paling tidak empat produk hukum yang cukup berpihak pada perempuan. Yakni: disahkannya UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT); UU No 90/2005 tentang Kewarganegaraan; UU Pemilu 2004 yang memberi kuota 30 persen kepada perempuan untuk dicalonkan dalam pemilu; Inpres No 9/2000 tentang PUG Dalam Pembangunan.
Tantangan terberat Perempuan Indonesia ke depan adalah memainkan peran ganda sekaligus, yaitu karir dan rumahtangga. Keluarga dan anak harus tetap menjadi prioritas perempuan, di samping karir. Keadaan ini tidak dapat dihindarkan, karena merupakan konsekuensi dari nilai yang bergeser. Manajemen waktu, kualitas komunikasi, kasih sayang dan cinta yang optimal kepada anak dan suami menjadi pelajaran wajib bagi perempuan mendatang. Keluarga demokratis yang dilandasi spirit religiusitas, merupakan prasyarat dukungan bagi perempuan untuk maju.
Sekarang saatnya setiap elemen bangsa turut mendukung peningkatan kualitas Perempuan Indonesia. Disadari, dalam nilai masyarakat, perempuan masih menjadi penanggung jawab kualitas anak dan keluarga. Tentu saja dukungan kaum pria merupakan wujud kemitra sejajaran dalam membangun keluarga berkualitas. Keluarga berkualitas merupakan pilar kemajuan masyarakat dan bangsa. Semoga!

























Kesetaraan dan Keadilan Gender
I.   Pendahuluan
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa - bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Disamping itu pengarus utamaan gender juga merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program / proyek dan kegiatan. Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.
Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.
Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan. yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.
Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh. Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu Tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender; Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik; Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen; Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender. Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan.
II. Kondisi Perempuan Indonesia
Secara keseluruhan indeks kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks Pembangunan Manusia / Human Development Index (HDI) yang berada pada peringkat ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke peringkat 109 pada tahun 1998 dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun 2002, 110 dari 173 negara. Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI Indonesia menempati urutan ke - 112 dari 175 negara, dibandingkan Negara-negara ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan 59, 70 dan 77. Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada peringkat ke-88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 (1998) dan peringkat 92 (1999 dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91 dari 144 negara GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Philippina yang masing- masing berada pada peringkat 54, 60, 63. Berdasarkan hasil Survey Penduduk 2000 (BPS) diketahui jumlah penduduk Indonesia sebesar 206.264.595 orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan, (50,1% diantaranya laki-laki dan 49,9% perempuan). Indeks pembangunan manusia skala internasional dan nasional dilihat dari tiga aspek yaitu pendidikan, kesehatan dan yaitu pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3 (tiga) aspek tersebut di atas sebagai berikut :
1.  Pendidikan
Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan. Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki 5,84%.
2. Kesehatan.
Menurut Gender Statistics and indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang kesehatan ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi (dari 49 bayi per 1000 kelahiran pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Menurunnya angka kematian anak serta tahun (1998) menjadi 67,9 tahun (2000), Berdasarkan estimasi parameter demografi 1998 yang dikeluarkan BPS, angka harapan hidup (eo) pada periode 1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan harapan hidup (eo) pada periode 1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup (life expectancy rate) perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun berbanding 65,9 tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi, 1998). Dibidang kesehatan, selama periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian bayi, Infant Mortality Rate (IMR). Namun angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi dibandingkan angka kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat, angka kematian anak, Child Mortality Rate (CMR) periode ini juga menunjukkan penurunan, namun demikian angka kematian anak laki- laki lebih tinggi dibandingkan kematian anak perempuan laki-laki 9,8 sedangkan perempuan 7,9. (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Dibidang kesehatan dan status gizi perempuan masih merupakan masalah utama, yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) 390/100.000 (SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan menurun 307/100.000 (SDKI 2002).
3. Ekonomi.
Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki 75,34%, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Sedangkan ditahun 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12% berbanding 44,81%. (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakya, 2003).
III. Faktor Kesenjangan dibidang Hukum dan Politik
Faktor penyebab kesenjangan kondisi dan posisi perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang bias gender karena dalam bidang hukum masih banyak dijumpai substansi, struktur, dan budaya hukum yang diskriminatif gender. Jumlah peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan berjumlah kurang lebih 32 buah.
Faktor penyebab kesenjangan gender pada aspek lain misalnya politik sebagai berikut: hasil Pemilu tahun 1999 yang menyertakan 57% pemilih perempuan hanya terwakili 8,8% dari seluruh anggota DPR, lebih rendah dari hasil pemilu 1997 yang berjumlah 11,2% dari jumlah pemilih 51%, (Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002). Pemilu 2004 perempuan hanya terwakili 11%.
 Jumlah perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung dan Hakim Yustisial Non Struktural di Mahkamah Agung juga menunjukkan penurunan dari 36 pada tahun 1998 menjadi 34 pada tahun 1999, dan 28 pada tahun 2002, (Sumber: Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002-Bab7). Pada tahun 1999 jumlah PNS perempuan adalah 36,9%, laki-laki sebesar 63,1% dari jumlah seluruh PNS (4.005.861), dan dari jumlah tersebut hanya 15,2% PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,8%. Sedangkan tahun 2000 terjadi sedikit perubahan dimana jumlah PNS perempuan adalah 37,6%, laki-laki sebesar 62,4% dari jumlah seluruh PNS (3.927.146), dan dari jumlah tersebut hanya 15,7% yang menduduki jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,3%. (Statitik dan Indikator Gender, BPS, 2000).
Masalah HAM bagi perempuan termasuk isu gender yang menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan, dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan.
IV. Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki- laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan
V. Pengertian Gender dan Seks
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman.
 Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.
 VI. Permasalahan Ketidakadilan Gender
Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.
Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
 Faqih dalam Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem (Faqih, 1998a; 1997). Selanjutnya Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan; misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe/pelabelan negatif sekaligus perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang (Ihromi, 1990). Manisfestasi ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad M. hal. 33, 2001).
VII. Bentuk – bentuk Ketidakadilan Akibat Diskriminasi Gender
1.   Marginalisasi
perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Beberapa studi dilakukan untuk membahas bagaimana program pembangunan telah meminggirkan sekaligus memiskinkan perempuan (Shiva, 1997; Mosse, 1996). Seperti Program revolusi hijau yang memiskinkan perempuan dari pekerjaan di sawah yang menggunakan ani-ani. Di Jawa misalnya revolusi hijau memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya menggunakan sabit.
Contoh – contoh Marginalisasi :
 laki-laki;
Ø  Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan
 hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki,
Ø  Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani; tenaga
 perempuan;
Ø  Usaha konveksi lebih suka menyerap perempuan;
Ø  Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak seperti “guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan
Ø  Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan “perawat”.


2. Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.
3. Pandangan Stereotipe
Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
4. Kekerasan
Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki- laki, tetangga, majikan.
5. Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.
VIII. Peran Perempuan di Domestik dan Publik
Women have a vital role to play in the promotion of peace in all sphares of life, in the world. Women must participate equally with men in the decision making process which help to promote peace at all the levels (Deklarasi Konferensi Mexico, 1975) Kelebihan/potensi perempuan :
Ø  Rasa sosial, toleransi, ikatan kelompok
Ø  Jiwa interpreneur (keseimbangan pendapatan-pengeluaran)
Ø  Perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, terutama bagi anak- anaknya.
Ø  Perajut persatuan dan kesatuan hidup masyarakat, bangsa, dan Negara Perjuangan Kesetaraan laki-laki dan perempuan (internasional)
Ø  Deklarasi HAM, PBB (1948) memberi aspirasi bagi gerakan feminis untuk memperjuangkan hak-hak perempuan (all human beings are born free and equal in dignity and rights), 1952 hak politik dan ekonomi perempuan diadopsi PBB.
Ø  1963, gerakan global emasipasi masuk dalam agenda PBB (ECOSOC) untuk diakomodasi Negara anggota, Commission on the Status of Women (1967) memberi aspirasi pada lahirnya PKK.
Ø  Konferensi di Mexico, 1975 menyetujui program WID (Women in Development) sebagai strategi meningkatkan peran wanita.
Ø  Konferensi di Nairobi, 1985 setujui pembentukan UNIFEM lembaga PBB untuk perempuan dengan program WAD (Women and Development) 1979 CEDAW-PBB, melalui UU No. 7 tahun 1984, Indonesia meratifikasi CEDAW.
Ø  Pertemuan di Vienna, 1990 menyetujui program GAD (Gender and Development) dengan strategi Pengarus utamaan Gender, melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990, Indonesia meratifikasi CRC (Convention Rights of Children).
Ø  Konferensi ICPD, Cairo 1994 mengagendakan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dalam pembangunan yang
berkelanjutan.
Ø  Konferensi di Beijing, 1995 merinci 12 keprihatinan terhadap perempuan yang dikenal dengan 12 critical issues. Secara Nasional antara lain :
v   Adanya UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen tentang Propenas
v   UU No. 25 tahun 2000
v   UU No. 12 tahun 2000 tentang Pemilu Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
v   IInstruksi

Prinsip dasar membangun kesetaran gender di Indonesia
·               Menghargai pluralistic
·               Pendekatan sosio-kultural
·               Peningaktan ekonomi dan kesejahteraan rakyat
·               Penegakan HAM dan supremasi hokum
·               Penghapusan kekerasan dan diskriminasi
·               Penyadaran pilar pembangunan
·               Pemerintah: sosialisasi dan advokasi
·               Masyarkat: sensitisasi dan advokasi
·               Dunia usaha, penyadaran dan advokasi
·               Penyatuan persepsi, pemahman, dan penyadaran kepada semua pihak untuk mewujudkan kesetaran gender dan perlindungan anak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
IX. Upaya – upaya dan Usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka KKG
Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai visi Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI sebenarnya merupakan bentuk pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.
Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan masih rendah. Di lain pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki serta belum menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir pembangunan.
Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah); juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat maupun lembaga - lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan yaitu dalam tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program
pembangunan
Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di lingkup keluarga, masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).
Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh peluang, kesempatan dan akses serta control dalam pembangunan, serta perolehan manfaat atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah struktural utamanya. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas nama) agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda - bedakan. (Zaitunah Subhan, hal. 17-18, 2001)
Dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan yakni pertama meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan. Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.
Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir pemberdayaan perempuan, Propenas 2000-2004 telah melakukan mainstreaming kebijakan dan program pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya Propenas telah dirumusakan secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana Pembangunan tahunan (Repeta), untuk tahun 2001 (Repeta 2001).
Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2001 - 2004, program yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan upaya peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan; Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber Daya, Sarana dan Prasarana. Mengingat produk tersebut merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan keadilan gender harus menjadi komitmen bersama.
Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melaui program yang peka akan permasalahan gender, Kementerian Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama dengan UNFPA dalam melaksanakan serangkaian kegiatan Mainstreaming Gender Issues in Reproductive Health and Population Policies and Programmes.

Tujuan utama program ini adalah tercapainya perbaikan status kesehatan reproduksi kaum perempuan dan laki-laki melalui kebijakan program kesehatan reproduksi dan kependudukan yang sensitif gender. Hal ini akan dicapai melalui penguatan kapasitas nasional untuk melakukan pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep gender dalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan reproduksi dan kependudukan.
Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan mengakselerasi-kan PUG di sektor strategis, propinsi dan kabupaten / kota, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit antara lain :
Ø  Program Pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan, serta serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam upaya perbaikan undang-undang yang masih bisa gender seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
Ø  Program Peningkatan Peranserta masyarakat dan penguatan kelembagaan PUG dilakukan dengan melalui: sosialisasi, advokasi, dan pelatihan analisis gender baik di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota;
Ø  Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender;
Ø  Pengembangan alat untuk analisis gender yang digunakan dalam perencanaan program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway (GAP); dan Problem Base Analysis (PROBA).
Ø  Pengembanagan Homepage untuk penyediaan data dan informasi program pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan keadilan gender dan jaringan informasi dengan website;
Ø  Penyusunan Profil Gender untuk 26 propinsi;
Ø  Fasilitasi bantuan teknis kepada daerah propinsi, kabupaten dan kota
Ø  Tersedianya data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin secara berkala dan berkesinambungan dari propinsi dan kabupaten/kota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.
X. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, selain itu ketimpangan lebih banyak dialami perempuan dari pada laki-laki.
Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan di bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Politik, Hankam dan HAM berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila tidak diatasi, maka ketimpangan atau kesenjangan pada kondisi dan posisi perempuan tetap saja akan terjadi.
Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam memberikan konstribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan yang ada terus saja terjadi.
XI. Saran dan Pesan
Pada kesempatan ini dihimbau kepada para kandidat puteri Indonesia yang dibanggakan untuk berperan aktif dalam memajukan posisi dan kondisi perempuan Indonesia dalam segala aspek/bidang pembangunan, misalnya melalui aktifitas peningkatan pengetahuan dan penyebarluasan seluruh informasi sebagaimana telah dipaparkan tersebut di atas, baik pada kalangan sendiri, dalam keluarga, serta lingkungan masyarakat luas. Mudah-mudahan apa yang telah disampaikan dapat memberi manfaat yang sebesar-besar bagi diri sendiri, masyarakat bangsa dan Negara.
Pesan khusus untuk semua kandidat adalah menjaga jatidiri puteri Indonesia yang bermoral karena kita mempunyai macam- macam agama yang diakui dan ragam budaya yang dapat dijalankan dan dijaga kelestariannya. Sekaligus saya tekankan semoga semua kandidat puteri Indonesia dapat menjunjung tinggi agamanya dan jatidirinya sebagai Bangsa Indonesia yang aman dan damai.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment