Konsep penting
yang perlu dipahami dalam rangka membahas masalah Gender adalah membedakan
antara konsep Gender dari konsep Seks (jenis kelamin). Pemahaman dan perbedaan
antara konsep Gender dan Konsep Seks sangat diperlukan dalam melakukan analisis
untuk memahami persoalan yang menimpa kaum perempuan.
Gender merupakan kajian tentang
tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender berbeda dari seks atau jenis
kelamin laki-laki dan
perempuan yang bersifat biologis. Ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam satu kebudayaan bisa dianggap sebagai feminim dalam budaya lain. Dengan
kata lain, ciri maskulin atau feminim itu tergantung dari konteks sosial-budaya bukan
semata-mata pada perbedaan jenis kelamin.
Gender adalah perbedaan antara Perempuan dan Laki-laki
dari segi Sifat, Peran dan Tugas, Posisi, Fungsi yang dikonstruksi secara
Sosial maupun Kultur. Gender juga dipengaruhi oleh
factor Budaya, Agama, Social, Politik, Hukum, Pendidikan, dan Media. Karena
Gender merupakan hasil rekonstruksi social, maka Gender biasa berubah sesuai
konteks waktu, tempat, dan budaya. Tetapi masyarakat masih menganggap Gender sebagai
sesuatu yang alami, sifatnya Kodrati dari Tuhan sehingga tak perlu lagi
dipertanyakan dan digugat.
Seks adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi Biologis antara
Perempuan dan laki-laki yang menentukan perbedaan peran mereka dalam
menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan. Perbedaan ini terjadi karena mereka memiliki alat-alat untuk meneruskan
keturunan yang berbeda, yang disebut alat Reproduksi. hanya terletak secara
biologis saja, seks (Kodrat).
Kodrat adalah kekuasaan Tuhan dimana manusia tidak dapat
menentangnya sebagai mahluk Tuhan dan menjadi Hukum Alam yang tumbuh menurut
Kodratnya.
Gambaran perbedaan Seks dan Gender
a.
Seks / Jenis Kelamin
·
Seks adalah perbedaan antara
Laki-laki dan Perempuan secara Biologis, seks tidak dapat berubah dan atau
saling dipertukarkan, karena seks sifatnya Kodrati berasal dari Tuhan.
·
Perbedaan seks sama diseluruh
dunia, bahwa perempuan biasa Menstruasi, mengandung dan melahirkan, sementara
Laki-laki tidak dan sifatnya universal.
b.
Gender
·
Gender adalah perbedaan peran,
hak, kewajiban, kuasa dan desempatan antara Laki-laki dan Perempuan dalam
kehidupan sosial masyarakat.
·
Gender tidak sama diseluruh
dunia, Gender berubah dari waktu kewaktu, dari tempat satu ketempat lainnya,
dari kelas satu kekelas lainnya, tergantung kultur dan perkembangan masyarakat
disuatu wilayah dan sifatnya lokal.
Berdasarkan konsep Gender perempuan dan laki-laki telah dibedakan dari segi
sifat, peran, tugas dan posisinya.
Seringkali
Perempuan mengalami ketidakadilan, bentuk-bentuk ketidakadilan itu berupa :
a.
Marginalisasi
Proses pemiskinan atau peminggiran perempuan yang
mengakibatkan perempuan tidak berdaya secara ekonomi.
Contoh :
Ø Peminggiran perempuan dari alat-alat dan sarana produksi
karena penempatan perempuan disektor domestik.
Ø Perkembangan Globalisasi
b.
Diskriminasi
Perbedaan
perilaku terhadap seseorang atau kelompok dikarenakan jenis kelamin, ras, agama,
status social dan suku.
Contoh
:
Ø Memberikan keistimewaan kepada anak laki-laki daripada
perempuan.
Ø Mengutamakan pendidikan laki-laki daripada perempuan
karena laki-laki dianggap sebaai kepala rumah tangga yang akan mencari nafkah.
c.
Beban Ganda
Beban
perempuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan reprodiksi didalam rumah
tangganya sekaligus melakukan pekerjaan-pekerjaan produktif untuk mendapatkan
penghasilan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan di lingkungan nya.
Faktor-faktor Pelestarian Ketidakadilan Gender
a.
Budaya
Patriarki
Budaya yang menomor satukan laki-laki disegala bidang
yang menjadikan perempuan termaginalkan dan mengalami penindasan.
b.
Penafsiran
Agama
Penafsiran
agama yang tidak berpihak pada perempuan, penafsiran agama yang selama ini
hanya dilakukan oleh kaum laki-laki dan berdampak merugikan kaum perempuan dan
melanggengkan pembagian peran, fungsi, posisi perempuan dan laki-laki dalam
keluarga dan masyarakat.
Contoh
:
Ø
Perbolehkan Poligami dalam Islam
Ø
Perbolehkan pemukulan terhadap istri
Ø
Kewajiban memperbolehkan memakai busana muslim
Ø
Pelarangan perempuan menjadi pemimpin
c.
Adat
Sama
seperti didalam agama, gender pun didalam adat juga menguntungkan pihak
laki-laki, misalnya ; seorang perempuan tidak boleh menjadi pemimpin didalam
adat, dll
d.
System
Pendidikan
Didalam
pendidikanpun jelas, bahwa peran laki-laki selalu diatas daripada perempuan,
Mengutamakan pendidikan laki-laki daripada perempuan karena laki-laki dianggap
sebaai kepala rumah tangga yang akan mencari nafkah.
e.
System Hukum
System Hukum masih biasa didalam gender misalnya
tentang UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang bahwa pengadilan dapat
memberi izin kepada laki-laki (suami) untuk menikah lagi jika istri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai istri, dikarenakan istri cacat tubuh dan tidak
dapat memberikan keturunan.
v Gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin,
gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan.
v Menurut Shorwalter : “ gender mulai ramai dibicarakan
pada tahun 1977, yang mempeloporinya adalah kaum atau kelompok Feminis
(Inggris)
v Agama dilibatkan untuk melestarikan kondisi dimana kaum
perempuan tidak menganggap dirinya sejajar dengan kaum laki-laki.
v Kesetaraan Gender adalah sebuah misi dari kaum perempuan
saat ini (menuntut kesetaraan Gender)
v Kesetaran gender tidak akan bisa terwujud jika tidak
melibatkan pria atau wanita, sebab antara pria dan wanita sama-sama
diuntungkan,saling menopang, saling melengkapi dengan adanya kesetaraan gender.
Kapan gender itu Tidak Masalah
dan Gender Itu Masalah.?
Gender tidak menjadi masalah apabila terjadi kesepakatan antara kedua pihak
(laki-laki dan perempuan) didalam pembagian tugas, dan kedua belah pihak itu
memilliki kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan yang lain diluir untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengembangkan diri.
Gender akan dipermasalahkan apabila adanya perbedaan (Diskriminasi)
perlakuan dalam akses, partisipasi, kontrol dalam menikmati hasil pembangunan
antara laki-laki dan perempuan. Dan juga tidak adanya kesetaraan dan keadilan
antara laki-laki dan perempuan didalam pembagian peran, tanggung jawab, hak,
kewajiban serta fungsi sebagai anggota keluarga maupun masyarakat yang akhirnya
tidak menguntungkan kedua belah pihak, jadi, dapat disimpulkan bahwa gender
menjadi masalah jika ada ketimpalan relasi atau ketidak adilan antara
lakai-laki dan perempuan dimana satu pihak menjadi sorban. Ketidak adilan
gender bisa dialami oleh laki-laki ataupun perempuan, tetapi karena budaya kita
yang patriarki atau yang mengutamakan laki-laki sehingga perempuanlah yang
paling besar terkena dampaknya.
Siapakah yang Mengalami Ketimpangan Gender.?
Seperti yang
telah diterangkan diatas, gender menjadi masalah bila ada salah satu pihak yang
dirugikan. Pihak yang mengalami kerugian itu disebut mengalami KETERTINDASAN atau KETIDAKADILAN GENDER. Keadaan salah
satu jenis gender lebih baik keadaan dan kedudukannya dari jenis gender lain
disebut juga KETIMPANGAN GENDER. Ketimpangan
atau Ketidakadilan gender tidak mutlak berarti penindasan perempuan, walaupun
benar perempuan lebih banyak mengalami ketimpangan. Karena ketertinggalan salah
satu jenis kelamin ini akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam masyarakat.
Apa Akibat Ketidaksetaraan dan
Ketidakadilan Gender.?
Akibat dari ketidaksetaran dan Ketidakadilan Gender itu mengakibatkan :
1. Penomor Duaan (Subordination)
2. Peminggiran (Marginalination)
3. Beban Ganda (Double Burden)
4. Kekerasan (Violence)
5. Pelabelan Negatif (Stereotype)
Apakah Jenis Kelamin Mempengaruhi Gender.?
Seringkali
munculnya kebingungan tentang artinya
“Kodrat” dan “Bukan Kodrat” bagi laki-laki dan perempuan. Susunan tubuh
perempuan (Kodrat) memiliki perempuan mempunyai tugas tertentu begitu juga
laki-laki, karena itu, muncul pertanyaan : apakah gender dipengaruhi jenis kelamin.?
Sering terjadi, kita menerima keadaan gender sebagai kodrat karena beranggapan
bahwa perempuan sudah dikodratkan memiliki tubuh yang lemah, sedangkan
laki-laki memiliki tubuh yang kuat, bahkan ada yang beranggapan bahwa laki-laki
lebih cerdas dan terampil (Otaknya lebih besar) daripada permpuan. Rupanya
sulit bagi kita melihat hal itu sebagai “hasil bentukan atau latihan”, karena
sudah terlalu biasa menganggapnya sebagai sebagai kodrat”. Karena rata-rata
perempuan kurang dilatih., sehingga kelihatannya sudah kodrat bahwa perempuan
itu lemah. Kenyataannya, perbedaan secara fisik antara laki-laki dan perempuan
bersifat relative atau tidak pasti bahwa perempuan tidak mampu melakukan
pekerjaan berat, laki-laki juga banyak yang menyukai pekerjaan yang ringan,
halus, dan lembut.
Apakah Bias Gender Itu.?
Pemikiran
tentang bagaimana memperlakukan jenis kelamin tertentu namun belum tentu sesuai
dengan yang sesungguhnya, misalnya : perempuan lemah, laki-laki kuat.? Pada
kenyataannya tidak semua perempuan lemah, dan tidak semuanya laki-laki kuat.
Gender Dalam Perspektif Islam
Berbicara
tentang konsep Gender dalam Islam sejumlah ayat dalam Al-Qur’an misalnya:
Q.S Al-Hujarat : 13, Q.S An-Nisa : 21, Q.S Al-A’raf
: 187, Q.S Al-Zumar : 6, Q.S Al-Fatir : 11, Q.S Al-Mukmin : 67
Menegaskan :
¨ Segi hakekat penciptaan, antara manusia satu dengan
manusia lainnya tidak ada perbedaan termasuk didalamnya antara perempuan dan
laki-laki. Karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas suatu golongan,
suku, bangsa, ras atau etnis gender terhadap lainnya. Kesamaan asal mula
biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, termasuk
persamaan antara perempuan dan laki-laki.
¨ Dari perspektif amal perbuatan keduanya dijanjikan akan
mendapat pahala apabila mengerjakan yang ma’ruf dan diancam dengan siksaan jika
berbuat yang mungkar (Q.S An-Nisa 4 : 24) dll. Sebagai manusia, perempuan
memiliki hak dan kewajiban beribadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga
diakui memiliki hak dan kewajiban untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui
peningkatkan ilmu dan taqwa.
Senada dengan Al-Qur’an, sejumlah Hadist Nabipun menyatakan bahwa
sesungguhnya perempuan mitra sejajar laki-laki, pada hakekatnya manusia itu
sama dan sederajat mereka bersaudara dan satu keluarga.
Pada tatanan praktis Islam memberikan aturan yang lebih rinci berkaitan
dengan peran dan fungsi masing-masing dalam menjalani hidup ini, dimana ada
kalanya sama dan ada kalanya peran dan fungsi tersebut berbeda antara laki-laki
dan perempuan. Akan tetapi perbedaan ataupun persamaan ini tidak bisa dinilai
dengan adanya ketidakadilan atau ketidaksetaraan Gender. Dalam Islam,
semata-mata merupakan pembagian tugas yang sama-sama penting dalam upaya
mewujudkan tujuan tertinggi dalam kehidupan dimasyarakat tentunya dengan adanya
keridhoan Allah SWT semata.
Korp Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri (KOPRI)
Sejarah KOPRI
Perjalanan sejarah organisasi yang
bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami proses yang panjang dan
dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada tanggal 7-11 Februari 1967 di
Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen Keputrian dengan berkedudukan di
Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah
pada tanggal 25 September 1966. Musyawarah Nasional pertama Korp PMII
Putri pada kongres IV PMII 1970. Kopri mengalami keputusan yang pahit ketika
status KOPRI dibubarkan melalui voting beda suara pada kongres VII di Medan.
Merasa pengalaman
pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca konres di Medan
mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu
kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres
XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai
momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah. Maka, terbentuklah POKJA
perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29
September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan PMII maka pada
kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan kebutuhan maka
terjadi voting atas status KOPRI denga suara terbanyak menyatakan KOPRI adalah
Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung sehingga terpilih
dalam kongres sahabati Ai maryati Shalihah.
Korps
PMII Putri merupakan lembaga semi otonom yang mewadahi kader-kader perempuan
untuk mengekspolorasi & mengartikulasikan potensinya serta mampu memberikan
kontribusi positif bagi perancangan dan pengambil kebijakan strategis
pemberdayaan perempuan. Oleh karena itu, kegiatan strategis diarahkan untuk
mengkaji secara mendalam faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan gender terutama dalam berbagai bentuk ketidakadilan gender yang
terjadi di masyarakat luas.
Di samping itu, KOPRI juga diharapkan
mampu mendorong lahirnya pemikiran inovatif dan etika relasi sosial Islami yang
sensitif gender dalam segala aspek dan bidang kehidupan, baik
dilaksanakan melalui affirmative program, koordinasi maupun evalusi
terhadap efektivitas program yang telah direncanakan.
Pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan, merupakan tanggung-jawab kita semua untuk mempercepat kemajuan dalam membangun kesejahteraan. Berbagai tantangan yang masih ada dan yang akan datang akan lebih mudah diatasi jika dilakukan bersama. Oleh karena itu sumbangsih dan peran semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, civitas akademika dan pihak swasta akan sangat berarti.
Pemberdayaan masyarakat, khususnya perempuan, merupakan tanggung-jawab kita semua untuk mempercepat kemajuan dalam membangun kesejahteraan. Berbagai tantangan yang masih ada dan yang akan datang akan lebih mudah diatasi jika dilakukan bersama. Oleh karena itu sumbangsih dan peran semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, civitas akademika dan pihak swasta akan sangat berarti.
Tujuan
KOPRI adalah sebagai berikut :
1. Mewujudkan peningkatan pemahaman dan
kesadaran terhadap keadilan Gender dalam segala aspek kehidupan.
2. Menggali dan
mengembangkan konsep kemitrasejajaran dan keadilan Gender dalam perspektif
Islam (Al-Qur'an dan Hadits)
3. Membuat
jaringan kerjasama berbagai instansi dalam rangka memotivasi terhadap kesadaran
Gender dalam bidang peran publik, politik, domestik, ekonomi dan sosial.
Kegiatan yang dilaksanakan difokuskan
pada :
1. Meningkatkan
kemampuan anggotanya dalam bidang Penelitian, Pelatihan dan Pengabdian kepada
Masyarakat dengan cara mengadakan dan mengikutsertakan pada Pelatihan-Pelatihan,
Lokakarya, Simposium dan berbagai Seminar Ilmiah yang berperspektif Gender
(Islami).
2. Melakukan kajian dan penelitian yang
berperspektif Gender (Islami).
3. Melakukan Pembinaan dan Penyuluhan kepada
seluruh kader dan masyarakat terhadap berbagai persoalan yang terjadi ditengah
masyarakat. Dan mengusahakan pembinaan kehidupan beragama.
Tantangan Perempuan Indonesia
Bahkan kita cukup miris
melihat keadaan yang carut marut di dalam negeri, menjadikan hilangnya sebagian
kewibawaan bangsa di mata internasional
Laporan terakhir UNDP (2006)
tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menempatkan Indonesia pada posisi 108
dari 177 negara yang disurvai. Posisi ini sekaligus mensyaratkan Indonesia
berada pada level menengah IPM di dunia bersama negara tetangga seperti
Thailand pada posisi 74, Filipina (84), Vietnam (109) dan Timor Leste (142).
Berbeda dengan tetangga yang lain seperti Singapura (25), Brunei (34) dan
Malaysia (61), yang masuk pada kategori negara dengan IPM level tinggi.
Keadaan ini tentu harus diakui
sebagai sebuah kenyataan hasil pembangunan yang dicapai Bangsa Indonesia
berdasarkan tiga aspek: ekonomi, pendidikan dan kesehatan Sejatinya, gambaran
kuatitatif tersebut dapat menyadarkan semua elemen bangsa untuk bangkit.
mengejar ketertinggalan.
Kita melihat banyak energi
anak bangsa habis terkuras untuk ‘berkelahi’ dengan sesama saudara. Meskipun
kita mengakui, proses tersebut sebagai harga yang harus dibayar untuk membangun
sebuah bangsa yang berpilar demokrasi. Tetapi harus dicamkan pula, sampai kapan
proses ini harus dilalui hingga tuntas? Bahkan kita cukup miris melihat keadaan
yang carut marut di dalam negeri, menjadikan hilangnya sebagian kewibawaan
bangsa di mata internasional. Hal ini bisa dibuktikan dengan memanasnya kembali
sengketa Blok Ambalat dengan Malaysia dan perbatasan dengan Singapura.
Dari dua fenomena tersebut,
kita semakin mempertanyakan adakah perhatian dan keseriusan pemerintah dalam
peningkatan kualitas perempuan Indonesia? Karena, kita harus konsekuen terhadap
Program Aksi yang disepakati pada konferensi internasional tentang kependudukan
dan pembangunan berkelanjutan (ICPD) di Kairo, Mesir, pada 1994 yang dihadiri
10.000 perwakilan masyarakat sipil dunia. Dalam konferensi itu, 179 negara
menyetujui visi 20 tahun (Program Aksi) untuk membina Keluarga Berencana (KB)
nasional dan internasional, kesehatan reproduksi, pencegahan HIV/AIDS,
pemberdayaan perempuan dan upaya pembangunan terkait lainnya
Negara juga harus bertanggung jawab, karena turut
meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Woman (CEDAW) 20 tahun silam. Namun kenyataannya, banyak pihak melihat Indonesia
lamban dalam mengimplementasikan kesepakatan internasional tersebut. Pemerintah
sebagai pembuat kebijakan, mestinya berperan aktif dalam mendukung peningkatan
kualitas perempuan. Perempuan harus semakin dilibatkan dalam proses pembangunan
dan pembuatan keputusan, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Data menunjukkan, ketimpangan akses terhadap
pembangunan bagi perempuan masih cukup memprihatinkan. Di bidang pendidikan, angka buta huruf usia kurang
15 tahun, perempuan sebesar 45 persen dan laki-laki 23 persen (UNDP, 2004).
Siswa putus sekolah usia 10-14 tahun, perempuan 36,2 persen dan laki-laki 32,1
persen BPS, 2003). Di bidang kesehatan, angka kematian ibu (AKI) pada 2002/2003
sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini cukup besar di antara negara
ASEAN lainnya. Jumlah bidan desa yang cukup berperan membantu persalinan, pada
2000 sebanyak 62.906 orang justru pada 2003 berkurang menjadi 39.906 orang
saja.
Sedangkan rasio tenaga bidan
71:100.000, artinya 71 bidan harus menangani 100.000 perempuan usia reproduksi.
Atau bisa juga disebut, satu bidan harus menangani sekitar 1.400-an perempuan
usia reproduksi. Lebih menyedihkan lagi, penurunan itu terjadi seiring dengan
kebijakan otonomi daerah. Situasi tersebut mengisyaratkan, pemerintah setempat
kurang mendukung upaya peningkatan kualitas perempuan di daerah. Seharusnya
pembuat kebijakan menyadari, semakin tinggi kualitas perempuan berdampak
positif terhadap produktivitas mereka.
Di bidang politik, UU Pemilu
menyebutkan kuota 30 persen perempuan di kursi politik. Namun, hasil Pemilu
2004 hanya mampu mendudukkan 11 persen perempuan di parlemen. Skeptisme
terhadap kemampuan masih menjadi hambatan utama perempuan untuk turut mengambil
posisi di bidang yang strategis. Dan, jangan dilupakan kekerasan terhadap
perempuan khususnya dalam rumahtangga juga menunjukkan angka yang tinggi baik
yang terdata ataupun yang masih belum terungkap
Fenomena ini mengungkapkan,
kapasitas kelembagaan yang terbuka dan mendukung terhadap kiprah perempuan
sangat diperlukan dalam rangka implementasi pengarus utamaan gender (PUG) dalam
pembangunan. Karenanya, UNDP mengajukan enam syarat, yakni: pertama, pemahaman
dan komitmen. Kejelasan tujuan kesetaraan gender dalam pembangunan pada level
pembuat kebijakan dan birokrasi tingkat pelaksana di lapangan, serta komitmen
untuk pencapaian tujuan tersebut baik secara individu mapun kelembagaan.
Kedua, struktur dan mekanisme.
Jaminan perspektif gender terliput dalam proses perencanaan dan pengambilan
keputusan dalam pemerintahan. Juga pelibatan lintas sektoral, monitoring
kemajuan dan peran lembaga yang memegang tanggung jawab untuk tercapainya isu
perempuan dalam pembangunan. Ketiga, data, informasi dan penelitian.
Tersedianya input yang diperlukan seperti penelitian tentang situasi perempuan
dan data lengkap berdasarkan jenis kelamin untuk mendukung rumusan kebijakan
dan program.
Keempat, keterampilan perencanaan,
analisis dan manajemen. Untuk mengidentifikasi dan menjawab perkembangan isu
perempuan berkaitan dengan lembaga yang berwenang. Kelima, mekanisme
partisipasi. Sedapat mungkin melibatkan partisipasi perempuan atau melalui
perwakilannya dalam rancangan pembuatan kebijakan, perumusan dan penilaian
program. Keenam, suberdaya keuangan. Tersedianya dana untuk implementasi PUG.
Di samping masih lambatnya
pemerintah memacu kualitas sumber daya perempuan, niat yang baik harus selalu
kita dukung. Upaya tersebut bisa kita lihat dengan terbitnya, paling tidak
empat produk hukum yang cukup berpihak pada perempuan. Yakni: disahkannya UU No
23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT); UU No 90/2005
tentang Kewarganegaraan; UU Pemilu 2004 yang memberi kuota 30 persen kepada
perempuan untuk dicalonkan dalam pemilu; Inpres No 9/2000 tentang PUG Dalam
Pembangunan.
Tantangan terberat Perempuan
Indonesia ke depan adalah memainkan peran ganda sekaligus, yaitu karir dan
rumahtangga. Keluarga dan anak harus tetap menjadi prioritas perempuan, di
samping karir. Keadaan ini tidak dapat dihindarkan, karena merupakan
konsekuensi dari nilai yang bergeser. Manajemen waktu, kualitas komunikasi,
kasih sayang dan cinta yang optimal kepada anak dan suami menjadi pelajaran
wajib bagi perempuan mendatang. Keluarga demokratis yang dilandasi spirit
religiusitas, merupakan prasyarat dukungan bagi perempuan untuk maju.
Sekarang saatnya setiap elemen
bangsa turut mendukung peningkatan kualitas Perempuan Indonesia. Disadari,
dalam nilai masyarakat, perempuan masih menjadi penanggung jawab kualitas anak
dan keluarga. Tentu saja dukungan kaum pria merupakan wujud kemitra sejajaran
dalam membangun keluarga berkualitas. Keluarga berkualitas merupakan pilar
kemajuan masyarakat dan bangsa. Semoga!
Kesetaraan dan Keadilan Gender
I. Pendahuluan
Kesetaraan dan Keadilan Gender
(KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa -
bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan
harus melaksanakan komitmen tersebut. Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan
Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana
ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th.
2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas
dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG)
dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan
keadilan dan kesetaraan gender.
Disamping itu pengarus utamaan gender juga
merupakan salah satu dari empat key cross cutting issues dalam Propenas.
Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga
pemerintah dan non departemen di pemerintah nasional, propinsi maupun di
kabupaten/kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan
kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program /
proyek dan kegiatan. Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di
Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat
sangat tergantung dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan
pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan belum
dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi
agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.
Penduduk wanita yang jumlahnya
49.9% (102.847.415) dari total (206.264.595) penduduk Indonesia (Sensus
Penduduk 2000) merupakan sumberdaya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi
aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya
tujuan pembangunan. Kurang berperannya kaum perempuan, akan memperlambat proses
pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.
Kenyataannya dalam beberapa
aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan
karena kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti
peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumberdaya
pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang
rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan. yang
rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.
Berbagai upaya pembangunan
nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan
manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Bahkan belum cukup efektif
memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak perempuan
memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional
belum mencapai hasil yang optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas
sumber daya manusia secara penuh. Faktor penyebab kesenjangan gender yaitu Tata
nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada
perempuan (ideology patriarki); Peraturan perundang-undangan masih berpihak
pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan
gender; Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung
tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik;
Kemampuan, kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara
konsisten dan konsekwen; Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di
eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan
yang responsif gender. Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan
perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki
dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada
pemerataan pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut mempengaruhi
kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang
sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia masa depan.
II. Kondisi Perempuan Indonesia
Secara keseluruhan indeks kualitas hidup manusia digambarkan melalui Indeks
Pembangunan Manusia / Human Development Index (HDI) yang berada pada peringkat
ke-96 pada tahun 1995 yang kemudian menurun ke peringkat 109 pada tahun 1998
dari 174 negara. Tahun 1999 berada pada peringkat 102 dari 162 negara dan tahun
2002, 110 dari 173 negara. Berdasarkan Human Development Report 2003, HDI
Indonesia menempati urutan ke - 112 dari 175 negara, dibandingkan Negara-negara
ASEAN lainnya seperti HDI Malaysia, Thailand, Philippina yang menempati urutan
59, 70 dan 77. Sedangkan Gender related Development Index (GDI) berada pada
peringkat ke-88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 (1998) dan
peringkat 92 (1999 dari 146 negara). Kemudian pada tahun 2002 pada peringkat 91
dari 144 negara GDI inipun masih tertinggal dibandingkan dengan-negara di ASEAN
seperti Malaysia, Thailand, Philippina yang masing- masing berada pada
peringkat 54, 60, 63. Berdasarkan hasil Survey Penduduk
2000 (BPS) diketahui jumlah penduduk Indonesia sebesar 206.264.595
orang. Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak dibandingkan perempuan, (50,1%
diantaranya laki-laki dan 49,9% perempuan). Indeks pembangunan manusia skala internasional dan
nasional dilihat dari tiga aspek yaitu pendidikan, kesehatan dan yaitu
pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Kondisi dan posisi perempuan meliputi 3
(tiga) aspek tersebut di atas sebagai berikut :
1.
Pendidikan
Di bidang pendidikan, kaum perempuan masih tertinggal dibandingkan
laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat
yang mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan
daripada perempuan. Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin
dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar
dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun
1999-2000. Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup
signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki,
khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok
10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi
laki-laki 5,85% dan perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional
(2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan pada
kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi
laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan
Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003. Angka buta
huruf perempuan 12,28% sedangkan laki-laki 5,84%.
2. Kesehatan.
Menurut Gender Statistics and indicators 2000 (BPS), kemajuan di bidang
kesehatan ditunjukkan dengan menurunnya angka kematian bayi (dari 49 bayi per
1000 kelahiran pada tahun 1998 menjadi 36 tahun 2000, (Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Menurunnya angka kematian anak serta tahun
(1998) menjadi 67,9 tahun (2000), Berdasarkan estimasi parameter demografi 1998
yang dikeluarkan BPS, angka harapan hidup (eo) pada periode 1998-2000 cenderung
meningkat. Usia harapan harapan hidup (eo) pada periode
1998-2000 cenderung meningkat. Usia harapan hidup (life expectancy rate)
perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 69,7 tahun berbanding 65,9
tahun. (Sumber: BPS, Estimasi Parameter Demografi, 1998). Dibidang kesehatan,
selama periode 1998-2000 ada penurunan angka kematian bayi, Infant Mortality
Rate (IMR). Namun angka kematian bayi laki-laki lebih tinggi dibandingkan angka
kematian bayi perempuan. Laki-laki 41, perempuan 31, (Sumber: BPS, Statistik
Kesejahteraan Rakyat 1999-2001). Sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi
kesehatan masyarakat, angka kematian anak, Child Mortality Rate (CMR) periode
ini juga menunjukkan penurunan, namun demikian angka kematian anak laki- laki
lebih tinggi dibandingkan kematian anak perempuan laki-laki 9,8 sedangkan
perempuan 7,9. (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2001).
Dibidang kesehatan dan status gizi perempuan masih merupakan masalah utama,
yang ditunjukkan dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) 390/100.000
(SDKI 1994), 337/100.000 (SDKI 1997), dan menurun 307/100.000 (SDKI 2002).
3. Ekonomi.
Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi
perempuan masih rendah, kemampuan perempuan memperoleh peluang kerja dan
berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi.
Hal ini ditunjukkan dengan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) yang masih
jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu 45% (2002) sedangkan laki-laki
75,34%, (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Sedangkan
ditahun 2003 TPAK laki-laki lebih besar dibanding TPAK perempuan yakni 76,12%
berbanding 44,81%. (BPS, Statistik Kesejahteraan Rakya, 2003).
III.
Faktor Kesenjangan dibidang Hukum dan Politik
Faktor penyebab kesenjangan kondisi dan posisi
perempuan dan laki-laki dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang bias
gender karena dalam bidang hukum masih banyak dijumpai substansi, struktur, dan
budaya hukum yang diskriminatif gender. Jumlah peraturan perundang-undangan
yang diskriminatif terhadap perempuan berjumlah kurang lebih 32 buah.
Faktor penyebab kesenjangan gender pada aspek lain
misalnya politik sebagai berikut: hasil Pemilu tahun 1999 yang menyertakan 57%
pemilih perempuan hanya terwakili 8,8% dari seluruh anggota DPR, lebih rendah
dari hasil pemilu 1997 yang berjumlah 11,2% dari jumlah pemilih 51%, (Sumber:
Statistik dan Indikator Gender Indonesia 2002). Pemilu 2004 perempuan hanya
terwakili 11%.
Jumlah
perempuan yang menjabat sebagai Hakim Agung dan Hakim Yustisial Non Struktural
di Mahkamah Agung juga menunjukkan penurunan dari 36 pada tahun 1998 menjadi 34
pada tahun 1999, dan 28 pada tahun 2002, (Sumber: Statistik dan Indikator
Gender Indonesia 2002-Bab7). Pada tahun 1999 jumlah PNS perempuan adalah 36,9%,
laki-laki sebesar 63,1% dari jumlah seluruh PNS (4.005.861), dan dari jumlah
tersebut hanya 15,2% PNS perempuan yang menduduki jabatan struktural, sedangkan
PNS laki-laki sebesar 84,8%. Sedangkan tahun 2000 terjadi sedikit perubahan
dimana jumlah PNS perempuan adalah 37,6%, laki-laki sebesar 62,4% dari jumlah
seluruh PNS (3.927.146), dan dari jumlah tersebut hanya 15,7% yang menduduki
jabatan struktural, sedangkan PNS laki-laki sebesar 84,3%. (Statitik dan
Indikator Gender, BPS, 2000).
Masalah HAM bagi perempuan termasuk isu gender yang
menuntut perhatian khusus adalah masalah penindasan dan eksploitasi, kekerasan,
dan persamaan hak dalam keluarga, masyarakat, dan negara. Masalah yang sering
muncul adalah perdagangan perempuan, dan pelacuran paksa, yang umumnya timbul
dari berbagai faktor yang saling terkait, antara lain dampak negatif dari
proses urbanisasi, relatif tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, serta
rendahnya tingkat pendidikan.
IV.
Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional
(hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan
struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan
dan laki- laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban
ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun
laki-laki.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka
memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta
memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan
partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber
daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan
dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan
penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga
memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan
V. Pengertian Gender dan Seks
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh
masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga gender belum
tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.
Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang
telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah.
Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya.
Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan.
Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan
demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara
perempuan dan laki-laki yang dibentuk/dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat
berubah sesuai perkembangan zaman.
Dengan
demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat
berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan
merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Lain halnya dengan seks, seks
tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku
dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.
VI. Permasalahan Ketidakadilan Gender
Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya
ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia , hal ini dapat terlihat dari gambaran
kondisi perempuan di Indonesia .
Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak
menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada
kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan
saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.
Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan
tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara
langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan
maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar
dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh
masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa
gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab
sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan
kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi,
terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi
terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Faqih dalam
Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender adalah suatu sistem dan struktur
yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem (Faqih,
1998a; 1997). Selanjutnya Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender
termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan;
misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe/pelabelan negatif sekaligus
perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap
perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang
(Ihromi, 1990). Manisfestasi ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak
bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad
M. hal. 33, 2001).
VII. Bentuk – bentuk
Ketidakadilan Akibat Diskriminasi Gender
1.
Marginalisasi
perempuan sebagai salah satu
bentuk ketidakadilan gender Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang
mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam
masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman,
eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis
kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender.
Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat
dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya
memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis
kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang
biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi
telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan
diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Beberapa studi dilakukan untuk
membahas bagaimana program pembangunan telah meminggirkan sekaligus memiskinkan
perempuan (Shiva, 1997; Mosse, 1996). Seperti Program revolusi hijau yang
memiskinkan perempuan dari pekerjaan di sawah yang menggunakan ani-ani. Di Jawa
misalnya revolusi hijau memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya
menggunakan sabit.
Contoh – contoh Marginalisasi :
laki-laki;
Ø Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi
baru yang dikerjakan
hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki,
hanya membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki,
Ø Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang
diasumsikan menggantikan tangan perempuan dengan alat panen ani-ani; tenaga
perempuan;
Ø Usaha konveksi lebih suka menyerap perempuan;
Ø Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak
seperti “guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan
Ø Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan
perempuan “perawat”.
2. Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah
sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih
rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun
dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari
kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat
yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh
apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak
berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang
akan pergi tidak perlu izin dari isteri.
3. Pandangan Stereotipe
Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang
tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum
selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang
berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin,
(perempuan), Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai
ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap
perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan
dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi
dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat,
bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia
dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional
dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan
laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan
perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika
hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau
birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner)
mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan
atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
4. Kekerasan
Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat
perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan
dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental
psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan
fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang
bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional
terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di
dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat
itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua,
anak laki- laki, tetangga, majikan.
5. Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda
yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan.
Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan
laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi,
menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga.
Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih
harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya
perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan,
terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan,
meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.
VIII. Peran Perempuan di Domestik dan Publik
Women have a vital role to play in the promotion of
peace in all sphares of life, in the world. Women must participate equally with
men in the decision making process which help to promote peace at all the
levels (Deklarasi Konferensi Mexico, 1975) Kelebihan/potensi perempuan :
Ø Rasa sosial, toleransi, ikatan kelompok
Ø Jiwa interpreneur (keseimbangan
pendapatan-pengeluaran)
Ø Perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
keluarga, terutama bagi anak- anaknya.
Ø Perajut persatuan dan kesatuan hidup masyarakat,
bangsa, dan Negara Perjuangan Kesetaraan laki-laki dan perempuan
(internasional)
Ø Deklarasi HAM, PBB (1948) memberi aspirasi bagi gerakan feminis untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan (all human beings are born free and equal in
dignity and rights), 1952 hak politik dan ekonomi perempuan diadopsi PBB.
Ø 1963, gerakan global emasipasi masuk dalam agenda PBB (ECOSOC) untuk
diakomodasi Negara anggota, Commission on the Status of Women (1967) memberi
aspirasi pada lahirnya PKK.
Ø Konferensi di Mexico, 1975 menyetujui program WID (Women in Development)
sebagai strategi meningkatkan peran wanita.
Ø Konferensi di Nairobi, 1985 setujui pembentukan UNIFEM lembaga PBB untuk
perempuan dengan program WAD (Women and Development) 1979 CEDAW-PBB, melalui UU
No. 7 tahun 1984, Indonesia
meratifikasi CEDAW.
Ø Pertemuan di Vienna, 1990 menyetujui program GAD (Gender and
Development) dengan strategi Pengarus utamaan Gender, melalui Keputusan
Presiden No. 36 tahun 1990, Indonesia
meratifikasi CRC (Convention Rights of Children).
Ø Konferensi ICPD, Cairo
1994 mengagendakan perlindungan terhadap hak reproduksi perempuan dalam
pembangunan yang
berkelanjutan.
berkelanjutan.
Ø Konferensi di Beijing, 1995 merinci 12 keprihatinan terhadap perempuan
yang dikenal dengan 12 critical issues. Secara Nasional antara lain :
v Adanya UUD 1945 yang sudah empat kali diamandemen tentang Propenas
v UU No. 25 tahun 2000
v
UU No. 12 tahun 2000 tentang Pemilu Presiden No. 9 tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
v
IInstruksi
Prinsip dasar membangun kesetaran gender di Indonesia
Prinsip dasar membangun kesetaran gender di Indonesia
·
Menghargai pluralistic
·
Pendekatan sosio-kultural
·
Peningaktan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat
·
Penegakan HAM dan supremasi hokum
·
Penghapusan kekerasan dan
diskriminasi
·
Penyadaran pilar pembangunan
·
Pemerintah: sosialisasi dan advokasi
·
Masyarkat: sensitisasi dan
advokasi
·
Dunia usaha, penyadaran dan
advokasi
·
Penyatuan persepsi, pemahman, dan
penyadaran kepada semua pihak untuk mewujudkan kesetaran gender dan
perlindungan anak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
IX.
Upaya – upaya dan Usaha yang dilakukan pemerintah dalam rangka KKG
Upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender
sebagai visi Kementerian Pemberdayaan Perempuan
RI sebenarnya merupakan bentuk
pembaruan pembangunan pemberdayaan perempuan yang selama tiga dasa warsa telah
memberikan manfaat yang cukup besar. Berbagai peningkatan pemberdayaan
perempuan bisa dilihat dengan meningkatnya kualitas hidup perempuan dari
berbagai aspek , meskipun masih belum optimal.
Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan
juga telah diupayakan namun hasilnya masih belum memadai, ini terlihat dari
kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, kedudukan
masih rendah. Di lain pihak, pada saat ini masih banyak kebijakan, program dan
kegiatan pembangunan yang belum peka gender, yang mana belum mempertimbangkan
perbedaan pengalaman, aspirasi dan kepentingan antara perempuan dan laki-laki
serta belum menetapkan kesetaran dan keadilan gender sebagai sasaran akhir
pembangunan.
Penyebabnya antara lain belum adanya kesadaran gender
terutama di kalangan para perencana dan pembuat keputusan; ketidak lengkapan
data dan informasi gender yang dipisahkan menurut jenis kelamin (terpilah);
juga masih belum mapannya hubungan kemitraan antara pemerintah dengan
masyarakat maupun lembaga - lembaga yang memiliki visi pemberdayaan perempuan
yaitu dalam tahap-tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
kebijakan dan program
pembangunan
pembangunan
Bergesernya proporsi pekerjaan utama perempuan dari
pertanian ke ranah industri, meningkatnya mobilitas perempuan baik migrasi
domestik maupun internasional serta semakin membaiknya peran perempuan di
lingkup keluarga, masyarakat dan berbangsa serta bernegara merupakan indikator
keberhasilan pemberdayaan perempuan khususnya upaya kesetaraan dan keadilan
gender mulai dapat dirasakan. Meskipun kemajuan perempuan ini hanya bisa dinikmati pada tataran
masyarakat yang sosial ekonominya mapan (menengah ke atas).
Sebaliknya pada tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah, masih sering
dijumpai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan baik dalam memperoleh
peluang, kesempatan dan akses serta control dalam pembangunan, serta perolehan
manfaat atas hasil pembangunan. Hal ini tidak lain karena masalah struktural
utamanya. Selain nilai-nilai budaya patriarkhi yang dilegitimasi dengan (atas
nama) agama dan sistem sosial yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
kedudukan dan peran yang berbeda dan dibeda - bedakan. (Zaitunah Subhan, hal.
17-18, 2001)
Dalam GBHN 1999-2004 menetapkan dua arah kebijakan pemberdayaan perempuan
yakni pertama meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga
yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. Kedua
meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan dengan tetap
mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis perjuangan
perempuan dalam rangka melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta
kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian pemberdayaan perempuan dalam rangka mewujudkan KKG merupakan komitmen bangsa Indonesia yang pelaksanaannya menjadi tanggung jawab seluruh pihak eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh-tokoh agama dan masyarakat secara keseluruhan. Sesuai dengan dua arahan kebijakan itu, pemerintah bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional maupun daerah, yang pelaksanaannya dapat memberikan hasil terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di segala bidang kehidupan dan pembangunan.
Berdasarkan arah kebijakan yang dimandatkan oleh GBHN 1999-2004 untuk butir
pemberdayaan perempuan, Propenas 2000-2004 telah melakukan mainstreaming
kebijakan dan program pembangunan pemberdayaan perempuan. Selanjutnya Propenas
telah dirumusakan secara lebih rinci setiap tahunnya ke dalam Rencana
Pembangunan tahunan (Repeta), untuk tahun 2001 (Repeta 2001).
Selanjutnya dalam Rencana Strategi Kementerian Pemberdayaan Perempuan 2001
- 2004, program yang disusun terdiri dari program dalam rangka pembangunan
pemberdayaan perempuan, peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak dan
upaya peningkatan kemampuan. Mencakup Program Pengembangan dan Keserasian
Kebijakan Pemberdayaan Perempuan; Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan;
Program Peningkatan Peran Masyarakat Pemampuan Kelembagaan Pengarusutamaan
Gender; Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak; Program Sumber
Daya, Sarana dan Prasarana. Mengingat
produk tersebut merupakan undang-undang, maka untuk mewujudkan kesetaran dan
keadilan gender harus menjadi komitmen bersama.
Dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender melaui program yang peka akan permasalahan gender, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan telah bekerjasama dengan UNFPA dalam melaksanakan
serangkaian kegiatan Mainstreaming Gender Issues in Reproductive Health and
Population Policies and Programmes.
Tujuan utama program ini adalah tercapainya
perbaikan status kesehatan reproduksi kaum perempuan dan laki-laki melalui
kebijakan program kesehatan reproduksi dan kependudukan yang sensitif gender.
Hal ini akan dicapai melalui penguatan kapasitas nasional untuk melakukan
pengarusutamaan gender, serta melalui aplikasi konsep gender dalam formulasi
dan pelaksanaan kebijakan dan program untuk kesehatan reproduksi dan
kependudukan.
Upaya mengaktualisasikan dan memanifestasikan dan
mengakselerasi-kan PUG di sektor strategis, propinsi dan kabupaten / kota , Kementerian
Pemberdayaan Perempuan juga telah melaksanakan program dan langkah konkrit
antara lain :
Ø Program Pengembangan dan keserasian kebijakan pemberdayaan perempuan,
serta serangkaian koordinasi telah dilakukan dalam upaya perbaikan
undang-undang yang masih bisa gender seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan dan UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan.
Ø Program Peningkatan Peranserta masyarakat dan penguatan kelembagaan PUG
dilakukan dengan melalui: sosialisasi, advokasi, dan pelatihan analisis gender
baik di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota;
Ø Pengembangan modul sosialisasi/advokasi gender;
Ø Pengembangan alat untuk analisis gender yang digunakan dalam perencanaan
program dan dikenal dengan Gender Analysis Pathway (GAP); dan Problem Base
Analysis (PROBA).
Ø Pengembanagan Homepage untuk penyediaan data dan informasi program
pembangunan pemberdayaan perempuan, konsep kesetaraan dan keadilan gender dan
jaringan informasi dengan website;
Ø Penyusunan Profil Gender untuk 26 propinsi;
Ø Fasilitasi bantuan teknis kepada daerah propinsi,
kabupaten dan kota
Ø Tersedianya data dan informasi yang terpilah menurut
jenis kelamin secara berkala dan berkesinambungan dari propinsi dan
kabupaten/kota mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan daerah.
X. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa diskriminasi gender telah
melahirkan ketimpangan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, selain itu ketimpangan lebih banyak dialami perempuan dari pada
laki-laki.
Akibat diskriminasi gender yang telah berlaku sejak lama, kondisi perempuan
di bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Politik, Hankam dan HAM berada pada
posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi yang tidak menguntungkan ini apabila
tidak diatasi, maka ketimpangan atau kesenjangan pada kondisi dan posisi
perempuan tetap saja akan terjadi.
Bahwa status perempuan dalam kehidupan sosial dalam banyak hal masih
mengalami diskriminasi haruslah diakui. Kondisi ini terkait erat dengan masih
kuatnya nilai-nilai tradisional terutama di pedesaan, dimana perempuan kurang
memperoleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, pengambilan keputusan dan
aspek lainnya. Keadaan ini menciptakan permasalahan tersendiri dalam upaya
pemberdayaan perempuan, dimana diharapkan perempuan memiliki peranan yang lebih
kuat dalam proses pembangunan. Kurangnya keikutsertaan perempuan dalam
memberikan konstribusi terhadap program pembangunan menyebabkan kesenjangan
yang ada terus saja terjadi.
XI. Saran dan Pesan
Pada kesempatan ini dihimbau kepada para kandidat puteri Indonesia yang
dibanggakan untuk berperan aktif dalam memajukan posisi dan kondisi perempuan Indonesia
dalam segala aspek/bidang pembangunan, misalnya melalui aktifitas peningkatan
pengetahuan dan penyebarluasan seluruh informasi sebagaimana telah dipaparkan
tersebut di atas, baik pada kalangan sendiri, dalam keluarga, serta lingkungan
masyarakat luas. Mudah-mudahan apa yang telah disampaikan dapat memberi manfaat
yang sebesar-besar bagi diri sendiri, masyarakat bangsa dan Negara.
Pesan khusus untuk semua kandidat adalah menjaga jatidiri puteri Indonesia
yang bermoral karena kita mempunyai macam- macam agama yang diakui dan ragam
budaya yang dapat dijalankan dan dijaga kelestariannya. Sekaligus saya tekankan
semoga semua kandidat puteri Indonesia dapat menjunjung tinggi agamanya dan
jatidirinya sebagai Bangsa Indonesia yang aman dan damai.
.
.
.BACA JUGA :
.
SEJARAH PMII LOKAL
.
" Bukanlah PENGECUT orang yang menghindar dari peluru, namun BODOHLAH orang yang menantang peluru tersebut hanya untuk jatuh dan tidak bangkit kembali"
.
PMII, HMI, IMM Kemanakah Engkau ?
.
SEPINTAS TENTANG GERAKAN MAHASISWA
.
Organisasi (PMII) dan Perubahan
.
MELAWAN PENJAJAHAN LEWAT KAMPUS
.
HANYA ADA DUA KATA, LAWAN DAN HANCURKAN !!!!
.
GERAKAN MAHASISWA
.
STUDY GENDER DAN KELEMBAGAAN KOPRI
.
SEJARAH NEGARA BANGSA INDONESIA
.
NDP (Nilai Dasar Pergerakan) PMII
.
VISI DAN MISI PMII
.
ANTROPOLOGI KAMPUS
.
.BACA JUGA :
.
SEJARAH PMII LOKAL
.
" Bukanlah PENGECUT orang yang menghindar dari peluru, namun BODOHLAH orang yang menantang peluru tersebut hanya untuk jatuh dan tidak bangkit kembali"
.
PMII, HMI, IMM Kemanakah Engkau ?
.
SEPINTAS TENTANG GERAKAN MAHASISWA
.
Organisasi (PMII) dan Perubahan
.
MELAWAN PENJAJAHAN LEWAT KAMPUS
.
HANYA ADA DUA KATA, LAWAN DAN HANCURKAN !!!!
.
GERAKAN MAHASISWA
.
STUDY GENDER DAN KELEMBAGAAN KOPRI
.
SEJARAH NEGARA BANGSA INDONESIA
.
NDP (Nilai Dasar Pergerakan) PMII
.
VISI DAN MISI PMII
.
ANTROPOLOGI KAMPUS
ConversionConversion EmoticonEmoticon