Dari Kampus, Merajut Nusantara

Dari Kampus, Merajut Nusantara


Oleh: Munawir Arifin
Kampus adalah basis “perjuangan”. Derrida dalam L’University san Condition, menyatakan esensi Campus (n): Champ de bataille; Kampfplatz; Battlefield – of Theories. Bagaimana para profesor pada halaman 26 Derrida menjelaskan lebih lanjut tentang esensi Kampus yang berhubungan dengan Professor (n): Profiteor; Professus Sum; Pro et Fateor; Professer de la foi; Déclarer ouvertement et publiquement; Declare openly and publicly. Apa yang dikhotbahkan oleh para profesor tersebut adalah keyakinan kebenaran dalam teori/pengetahuan secara bertanggung jawab, memiliki audience/pengaruh (thesis, data dan argumen serta referensi).
Perjalanan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam proses kehidupan bernegara telah melebihi 5 dasawarsa atau tepatnya 55 tahun. Perjalanan tersebut telah fase keemasan sejarah pergerakan mahasiswa baik di dalam negeri maupun dalam kancah regional bahkan internasional. Ini artinya bahwa PMII selama 5 dasawarsa tersebut, dituntut lebih jauh dapat memainkan perannya bukan hanya sebagai agen kultur berideologiAhlus Sunnah Wal Jamaah, tetapi agen intelektual dalam pergulatan wacana maupun mempernngaruhi kebijakan. Sebagaimana mandat kemahasiswaan yang dimiliki oleh PMII sejak dulu ketika pertama kali berdiri.
Jika ditelisik lebih jauh dalam periode pergerakan mahasiswa Indonesia, PMII telah merasakan setiap periode kepemimpinan politik. Mulai dari Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi (Konsoslidasi Demokrasi) yang saat ini sedang bergulir. Upaya-upaya pergerakan dan perjalanan intelektual serta gerakan PMII memang tidak bisa dilepaskan dari fakta sejarah pergolakan politik kepemimpinan serta paradigma PMII yang senantiasa disesuaikan oleh PMII disetiap zamannya. Ini semata-mata agar PMII senantiasa mampu dalam menjalankan mandatnya sebagai organisasi yang memperjuangkan ajaran Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah sebagaimana yang diamanahkan oleh induk organisasi PMII terdahulu, di mana embrio kelahirannya yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Tetapi, tulisan ini bukanlah untuk mengulas atau mengomentari hubungan PMII dan NU secara struktural yang saat ini sedang hangat diperbincangkan, tetapi melihat secara substansi yaitu peran intelektual PMII hari ini dan di masa yang akan datang.

Berawal dari Kampus
Kenyataan yang tidak bisa dibantah bagi PMII hari ini adalah, PMII telah menjadi organisasi kemahasiswa dengan struktur organisasi terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Bagaimana tidak sampai hari ini PMII telah memiliki lebih kurang 24 Pengurus Koordinator Cabang (PKC), 226 Pengurus Cabang (PC) dan 524 Komisariat (Kampus) di tiap tingkatan strukturalnya, serta memiliki ratusan ribu kader dan alumni yang tersebar. Ini berarti bahwa PMII seharusnya telah mampu memberi andil besar dan memainkan peran sentralnya dalam segala aspek kehidupan bernegara. Tetapi pada kenyataannya bahwa, peran-peran sentral dan positioning kader maupun alumni PMII baik dalam memberi andil, terutama peran sebagai regulator maupun eksekutor kebijakan bernegara masih sangat minim.
Ini dapat dilihat dari data dan fakta bagaimana minimnya alumni PMII yang mengisi ruang-ruang strategis, semisal birokrasi,entrepreneur, teknik, maupun bidang yang sifatnya profesional non partai (politisi). Padahal di era transisi demokrasi, akses jabatan publik maupun politik telah dibuka lebar sebagaimana yang tidak kita temukan di masa Orde Lama. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa saat di era demokrasi bangsa yang masih bersifat prosedural formal, professionalisme individual menjadi tantangan bagi PMII dalam merebut ruang-ruang strategis bernegara. Tak pelak, dalam setiap momentum perubahan dan pergantian kepemimpinan bernegara misalnya, kita sulit menempatkan kader PMII setingkat menteri dalam jabatan-jabatan profesi yang memang dapat memberi andil besar terhadap kehidupan dan maslahah bangsa.
Jika belajar dari masa lalu, bahwa kekuatan sentral dan basis gerakan NU misalnya adalah pesantren, di mana segala aktivitas dan kegiatan baik ekonomi, sosial dan aspek lainnya dilakukan secara terpusat dan terkonsetrasi dengan memanfaatkan jejaring-jejaring pesantren NU lainnya yang tersebar se antero nusantara. Hasilnya, NU di masa lalu dapat menjadi dinamisator dalam membangun kekuatan ekonomi, sosial dan kebudayaan tersendiri. Begitupun sebenarnya PMII, di fase pertama kelahirannya (1960-1973) dan fase konsolidasi (1974-194) merupakan periode di mana PMII walau belum memiliki struktur yang begitu besar dibandingkan saat ini, tetapi mampu melahirkan kader yang kompeten bahkan profesional hingga diakui dalam kancah internasional. Dari keduanya, dapat dipelajari bahwa pembangunan pesat NU dan PMII terjadi karena konsentrasi bahkan konsistensi keduanya dalam memanfaatkan pesantren dan kampus sebagai basis gerakan.
Maka, selayaknya PMII kembali ke khittah perjuangannya yaitu, Kampus. Kampus yang merupakan basis gerakan PMII jika ingin membangun profesionalisme intelektual dan kapasitasnya. Karena hingga saat ini, menurut data yang penulis miliki di tahun 2013, PMII masih sangat kekurangan kader yang memiliki kompetensi di bidang ekonomi, Eksakta/Mipa, Teknik, kesehatan, pertanian, filsafat yang masing-masing hanya memiliki prosentase 3-5 persen, syariah/hukum berada di kisaran 10, dan kebanyakan kader PMII mendominasi di bidang pendidikan dan agama. Sehingga bidang dan potensi ekonomi wilayah unggulan semisal industri, entrepreneur/perdagangan, perkebunan, pertanian dan pertambangan yang memiliki prospek dan andil besar kebijakan dan positioning menyejahterakan rakyat tidak mampu diisi dan bahkan ditinggalkan (data kaderisasi PB 2013).
Kembalinya PMII ke ranah kampus, sesungguhnya merupakan tugas dan mandat prioritas tanpa menafikan peran PMII sebagai social control terhadap negara dan pembelaan terhadap hak-hak rakyat yang kadang dikebiri dan dilupakan oleh negara. Prioritas terhadap profesionalisme kader diatas dilandasi karena posisi dan peran sentral negara dan rakyat hari ini adalah saling mengisi, karena konsekusensi dari berubahnya sistem politik dan pemerintahan kita dari otoritarian-sentralis menjadi demokrasi-desentralis. Perubahan sistem bernegara kita menuntut PMII meletakkan posisi dan pijakan yang elastis tetapi tidak gagap menghadapi isu-isu kerakyatan yang memang wajib untuk untuk diperjuangkan jika ketidakadilan terjadi.

Merajut Nusantara
Tentunya posisi dan kenyataan PMII hari ini, bahwa mandat ideologis dan organisatoris PMII dalam mewujudkan kader PMII yang ulil albab dan profesional di bidangnya merupakan sebuah tuntutan zaman. Zaman di mana ideologi bukan lagi menjadi arena dan locus pertarungan dunia, tetapi lebih pada pertarungan peran dan penguasaa ekonomi dan politik dan Sumber Daya Alam (SDA). Karena menurut penulis, segala kekacauan dan hiruk pikuk pertarungan global antar negara, baik yang ada di dunia maju maupun berkembang, atau bahkan yang melanda dataran timur tengah (Arab Spring) hari ini dapat dibaca sebagai pertarungan ekonomi berbau ideologi ataupun agama.
Atmosfir pertarungan global tentunya senantiasa berpengaruh terhadap situasi dan kondisi bangsa Indonesia, sehingga kader PMII juga dituntut untuk mampu menganalisis sekaligus responsif terhadap segala isu dan gerakan yang hadir atau sengaja dihadirkan dalam rangka mempengaruhi kebijakan bernegara terutama yang berkaitan dengan integrasi nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena hingga hari ini, situasi global yang baik ekonomi, politik dan agama tak bisa dipungkiri juga mempengaruhi bangsa Indonesia.
Salah satu isu dan tantangan yang menarik terkait kehidupan kebangsaan dan politik ideologi dari yang sifatnya ekstrem dan berlatarbelakang keagamaan. Ideologi ekstrem yang saat ini masih hangat dan menjadi diskursus oleh semua elemen adalah wacana dan gerakan ISIS yang meluluh lantakkan Jazirah Timur tengah dan saat ini menurut laporan Badan Intelejen Negara. ISIS di Indonesia telah berkembang bukan hanya merebak pada kalangan muda Indonesia, tetapi pada tataran perekrutan kader dan relawan yang intens dilakukan di kampus-kampus negeri maupun swasta, baik itu kampus yang berlatar belakang umum maupun kampus agama.
Salah satu ciri gerakan ini yaitu, upaya yang terus dilakukan oleh segelintir kelompok mahasiswa bahkan dosen yang mengatasnamakan agama untuk melakukan deideologisasi Pancasila. Upaya deideologisasi Pancasila sampai saat ini bisa dilihat dari upaya untuk terus meneriakkan wacana pembentukan negara atas nama agama, terutama Negara Khilafah. Padahal, para founding fathers kita telah menetapkan bahwa Negara Pancasila itu bukanlah Negara Agama, tetapi mengakui dan menghargai semua pemeluk agama yang ada tanpa diskiriminasi.
Hal ini nyata terlihat pada Sidang BPUPKI 29 Mei 1945 di masa lalu bahwa anggota BPUKI yang relatif muda berusia 38 tahun yaitu KH Wahid Hasyim bersama tokoh lintas agama lainnya Ki Bagoes Hadikoesomo (Muhammadiyah), AA Maramis (Kristen), Abikusno Tjokrosujoso (Masyumi), Agus Salim (Serikat Islam), AA Maramis (Kristen), dan Lim Koen Hian (Peranakan Tionghoa) merupakan sebagian dari anggota BPUPKI yang akhirnya dapat mengakui Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Indonesia. Sehingga tantangan PMII dalam menjaga solidaritas kebangsaan dan melawan wacana serta gerakan ekstrem ini wajib dilakukan, dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
PMII juga secara khusus berupaya untuk merefleksikan tantangan bangsa kedepannya melalui penguatan kaderisasi berbasis kampus, penguatan intelektual dan spiritual demi merebut ruang-ruang strategis kepemimpinan kampus. Terutama kampus-kampus negeri yang notabenenya sering dimanfaatkan kelompok mahasiswa ektrim untuk berkembang.
Penguatan di atas dalam rangka menghadapi liberalisme ekonomi melalui pasar bebas Asean (MEA) Desember 2015. Jika ditinjau dari Human Development Indeks (HDI) 2014, Indonesia dalam hal tingkat kualitas sumber daya manusia dan pendidikan masih kalah bersaing dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sehingga pemuda Indonesia termasuk kader PMII mendapat tantangan yang disebut exploitation risk dan resiko ketenagakerjaan di mana dengan kualitas manusia dan pendidikan yang rendah, bisa saja pemuda menjadi kader atau alumni PMII menjadi penonton di negara sendiri.
Dari keseluruhan tulisan ini, PMII sekali lagi mewajibkan dirinya baik secara organisatoris maupun kader individual, menyusun agenda sistematik berbasis data dan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menata kualitas sumber daya yang profesional, mampu menguasai teknologi dan disertai kemampuan kewirausahaan. Bukankah harga keutuhan NKRI ini begitu murah untuk digadaikan, hanya karena kita lalai dalam memahami situasi internal dan kelemahan sumber daya kader yang kita miliki.Termasuk juga kelemahan kita dalam menganilisis dan memanfaatkan data dalam rangka penguatan distribusi kader.
Pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana kondisi kampus-kampus di Indonesia terutama kampus yang saat ini menjadi basis perjuangan PMII? Sudahkah kita berbicara tentang school of thought di kampus? Mau ke manakah perjuangan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam bingkai ajaran Islam Ahlus Sunnah Wal Jamaah? Diperlukan kerangka dekolonisasi dan rekonfigurasi posisi pengetahuan dan peran kader secara terus menerus demi mengawal visi, misi dan masa depan PMII.
Pada akhirnya untuk mewujudkan visi misi PMII saat ini yaitu ‘merevitalisasi PMII sebagai basis kaderisasi Islam AhlusSunnah Wal Jama’ah. Sebuah visi yang mulia, tentunya dimulai dari kampus untuk merajut Nusantara! Wallahul Muwaffieq Ilaa Aqwamith Tharieq…


“Penulis adalah Koordinator Biro Profesi Akademik (Bidang Pengembangan Jaringan Kampus
dan Profesi Akademik) PB PMII 2014-2016
Previous
Next Post »
Thanks for your comment