Berdebat di Ruang Interpretasi
Immanuel Kant menyebutkan istilah nomena sebagai lawan dari kata fenomena. Nomena merupakan suatu kata yang sangat abstrak yang bagi Kant disebutkan tidak akan bisa dilihat oleh manusia. Namun, nomena bisa diketahui melalui fenomena. Sesuatu yang tidak terlihat bukan berarti tidak ada. Nomena dalam perspektif Kant menunjukkan suatu objek realitas yang tidak diketahui dan tidak tampak. Dalam perspektif ini tentu saja bisa disebutkan bahwa nomena hanya bisa dibaca melalui fenomena. Tidak semua objek yang dirasakan bisa dibuktikan,  bukan?
Fenomena LGBT yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini tentu tidak berada dalam sebuah ruang kosong tanpa makna dan tanpa tujuan. Semua wacana pasti mengarah pada orientasi tertentu yang bisa saja terbaca atau bisa saja tidak terbaca secara kasat mata. Bisa disebutkan bahwa bukan fenomena LGBTnya yang menakutkan, namun apa yang ada dibalik derasnya wacana LGBT. Membaca realitas dibalik realitas yang disuguhkan kepada masyarakat sangat penting agar tidak tertipu dengan realitas absurd. Apa ini hanya soal hak dan kewajiban? Kaum LGBT punya hak dan negara punya kewajiban. Ataukah wacana ini menembus ruang-ruang hak dan kewajiban dan jauh melampaui itu?
Membaca nomena LGBT tentu tidak bisa diartikan sebagai kebenaran yang absolut. Membaca fenomena yang muncul belakangan ini merupakan usaha untuk menyibakkan nomenanya, namun belum tentu benar. Nomena LGBT hanya bisa dibaca melalui indikasi-indikasi atau penunjuk yang mengantarkan kepada pemahaman seutuhnya terhadap wacana mengenai LGBT. Menyingkap realitas dibalik realitas selalu berada dalam ruang interpretasi. Sesuatu yang interpretatif akan menghasilkan banyak kesimpulan dan pelbagai pendapat. Jadi perbedaan pendapat dirasa sangat wajar karena dihadapkan pada pembacaan ruang dan perspektif yang berbeda.
Perdebatan mengenai LGBT dalam perspektif manapun sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli dalam pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Dalam bidang agama, tidak ada satupun agama yang menyetujui prilaku seksual ini. Walaupun prilaku seksual ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan dalih pembenaran terhadap prilaku penyimpangan ini. Baru-baru ini, kicauan Ulil Abshar Abdalla di medsos mengenai LGBT cukup menghebohkan. Satu hal yang harus dipahami oleh Ulil dalam mengemukakan pendapatnya, ini bukan soal pemberangusan hak hidup pelaku LGBT, namun soal prilaku yang tidak bisa diterima oleh akal sehat. Tidak usah berdebat dalam perspektif agama mengenai hal ini, dari sisi logika kemanusiaan saja prilaku ini sudah tidak manusiawi.
Legalisasi LGBT bukanlah proses memanusiakan manusia, namun lebih pada prilaku dehumanisasi. Menempatkan manusia tidak lagi pada tempatnya sebagai manusia. Hak untuk hidup tentu dijamin oleh agama manapun, namun tidak ada satu agamapun yang akan membiarkan manusia menjadi tidak manusia lagi prilakunya atau menyalahi kodratnya sebagai manusia. Banyak sekali tulisan dan penelitian yang menyatakan bahwa LGBT merupakan genetika bawaan (gay gene theory/born gay). Apakah ini soal genetika bawaan atau memang kesempatan dan lingkungan yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan prilaku tersebut? Faktor paling dominan sebagai akibat prilaku ini adalah salahnya pergaulan, lingkungan serta budaya disekitarnya. Banyaknya penelitian yang membenarkan prilaku LGBT sebagai genetika bawaan berbanding lurus dengan banyaknya penelitian-penelitian serupa yang meruntuhkan hasil penelitian tersebut. sekali lagi, ini soal interpretasi dan analisis yang masih terus diperdebatkan dan dijadikan dalih pembenaran.
Walaupun perdebatan dari segi genetika selalu akan terjadi, namun secara rasio dan akal sehat perdebatan terebut tidak akan pernah terjadi. Seluruh manusia yang berpikiran normal pasti akan menolak orientasi seksual tersebut, karena bertentangan dengan kodrat kemanusiaan. Tidak mungkin penolakan ini didasarkan pada kebencian terhadap individu-individu pelaku LGBT, namun lebih kepada ketidakterimaan akal sehat terhadap prilaku ini. Sebagai manusia kita tentu tidak akan bisa menerima prilaku ini, namun sebagai manusia juga kita pasti akan merasa kasihan terhadap manusia yang punya orientasi seksual abnormal. Rasa empati dan simpati terhadap ketidaknormalan mereka sebagai manusia, bukan berarti menyetujui atau bahkan membenarkan prilakunya. Ketidaknormalan tersebut harus diterima sebagai ketidaknormalan dan dicarikan solusi untuk kembali menjadi normal. Tapi bukan melegalkan ketidaknormalan, bukan?
Prestasi Alan Turing sebagai ahli matematika, peneliti-peneliti modern komputer dan tokoh yang berhasil memecahkan kode enigma Jerman sewaktu perang dunia II (silahkan nonton film The Imitation Game), tidak juga bisa dijadikan dalih bahwa prilaku gay bisa diterima. Sejarah hidup Turing dengan orientasi seksualnya dianggap sebagai kejahatan sehingga pemerintah Inggris menjatuhkan hukuman terhadapnya pada waktu itu. Jika bukan karena orientasi seksualnya, mungkin kisah Turing tidak akan berakhir setragis itu. Seorang yang berprilaku menyimpang bisa saja berprestasi dalam suatu bidang, namun hal tersebut tidak cukup dijadikan dalih untuk membenarkan prilaku mereka.

Melampaui Wacana Legalisasi
Sampai saat ini, tercatat ada 24 negara yang melegalkan nikah sejenis. Negara-negara tersebut diurut dari waktu pelegalannya yaitu: Belanda (2000), Belgia (2003), Spanyol (2005), Kanada (2005), Afrika Selatan (2006), Norwegia (2009), Swedia (2009), Portugal (2010), Islandia (2010), Argentina (2010), Denmark (2011), Brazil (2013), Inggris (2013), Prancis (2013), Selandia Baru (2013), Uruguay (2013), Skotlandia (2014), Luxemburg (2015), Finlandia (2015),  Slovenia (2006 penerapannya pada tahun 2015), Irlandia, Meksiko, Amerika Serikat (2015), dan terakhir Nepal pada September 2015. Dilihat dari data nama-nama negara yang melegalkan hubungan sejenis dan tahun pelegalannya, maka bisa ditarik kesimpulan sederhana bahwa pada rentang tahun 2000 sampai 2015, desakan untuk pelegalan LGBT di pelbagai negara ini seakan terprogram dan tersistematisasi dengan baik. Terlihat dengan masifnya pelegalan tersebut dan waktunyapun tidak berselang terlalu lama antara satu negara dengan negara lainnya. Nampaknya terus berlangsung sampai tahun ini.
Apakah ini efek domino yang terjadi secara natural atau memang efek yang sengaja direkayasa agar masifitas pelegalan ini terus berlangsung? Tidak bisa terjawab dengan pasti. Asumsi bahwa pelegalan LGBT memang terstruktur dan masif sedikit terbukti dengan masifnya program UNDP (United Nations Deveploment Programme) untuk melakukan kampanye terhadap LGBT (bisa dilihat website http://www.undp.org/). UNDP juga mencanangkan adanya dana segar sebanyak US$ 8 juta (sekitar 108 miliar) untuk mendukung LGBT di Indonesia, China, Filipina, dan Thailand. Keberhasilan legalisasi LGBT di beberapa negara Eropa dan Afrika semakin menstimulus lembaga ini untuk mencoba peruntungannya di kawasan Asia.
Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) pada 1974 sudah menyatakan homoseksualitas bukan lagi gangguan jiwa atau penyakit. Belum lagi lembaga PBB lainnya yang menyatakan bahwa prilaku homoseksual bukanlah penyakit. Secara internasional, pada 17 Mei 1990 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut homoseksualitas dari daftar International Classification of Diseases (ICD) edisi 10. Sehingga 17 Mei diperingati sebagai International Day Against Homophobia atau Hari Tanpa Homofobia. Semua ini menunjukkan adanya gerakan sistematis yang berorientasi pada legalisasi LGBT. Asumsi lain yang terbangun adalah, ini bukan soal dalih-dalih ilmiah yang dibangun secara masif, tapi soal rekayasa sosial dan gerakan politik untuk melegalkan prilaku LGBT. Asumsi-asumsi ini memang harus dibuktikan dan dipertanggungjawabkan secara moral. Namun semakin dilakukan pembuktian bahwa LGBT melawan kodrat kemanusiaan, semakin gencar juga “gerakan” untuk membangun antitesisnya. Ingat, gerakan membangun antitesis ini juga disokong dengan pendanaan yang cukup memadai!!!
Berita terbaru di pelbagai media, pemerintah Indonesia melalui BAPPENAS sudah meminta kepada UNDP Indonesia agar tidak terlibat dalam kampanye tersebut. Pernyataan JK dipelbagai media juga menyebutkan tidak ada satupun organisasi formal yang memasukkan dana kampanye LGBT di Indonesia. Namun, tindakan preventif dari pemerintah ini belum cukup maksimal karena suntikan dana dari NGO internasional untuk kampanye LGBT di Indonesia tidak disebutkan. Asumsi rekayasa sistemik terhadap legalisasi LGBT di seluruh dunia menjadi semakin kuat karena disokong oleh lembaga yang berada di bawah PBB.
Dilihat dari adanya dana bantuan untuk mengkampanyekan LGBT di Indonesia, tentu ini peluang segar tersendiri bagi beberapa pihak. Dengan tidak bermaksud meremehkan ketulusan hati para “aktivis” yang fokus di isu ini, mudah-mudahan semua ini bukan soal “peluang”. Rasa kemanusiaan dan akal sehat sebagai manusia jauh lebih diutamakan dibanding hanya soal uang dan peluang. Semua ide dan gagasan punya konsekuensi tersendiri, namun berusahalah untuk tidak menjual ide orang lain dan membelinya dengan harapan bisa dijual mahal di Indonesia. Manusia Indonesia masih terlalu manusiawi untuk menerima pelegalan LGBT.
Melegalkan LGBT sama halnya dengan menggadaikan akal sehat dan menjual penyakit massal. Sebuah pusat penelitian kanker di Inggris merilis pelbagai penyakit yang disebabkan oleh hubungan sejenis (http://www.cancerresearchuk.org/). Hal ini membuktikan bahwa pelegalan LGBT berorientasi secara tidak langsung pada penyebaran penyakit. Pelaku LGBT harus diselamatkan, bukan dijerumuskan dengan melegalkan orientasi seksualnya (kalimat ini mungkin akan dianggap sebagai stereotip bagi para “aktivis” LGBT). Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati? Belum lagi soal tergadainya budaya Indonesia yang mengandung nilai-nilai etika dan estetika. Tidak pernah ada sejarahnya sosial budaya Indonesia yang mengajarkan prilaku LGBT. Kecuali para “aktivis” yang berteriak lantang tentang legalisasi ini ingin membangun dan memulai peradaban tersebut.!!!
Siapapun dan bagaimanapun prilaku manusia, dia akan tetap menjadi manusia dengan segala hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya. Namun melegalkan ketidaknormalan sisi kodrat kemanusiaan adalah bentuk kejahatan terhadap nilai kemanusiaan. Indonesia dengan perisai adat, sosial, kebudayaan, dan agamanya tidak akan leleh dengan jualan wacana bernilai jutaan dollar. Mudah-mudahan akal sehat dan rasa kemanusiaan akan selalu menyertai bangsa ini dan para peneriak yang bernama “aktivis” dengan dalih kemanusiaan.