PMII Nasibmu Kini.. (Kritik Terhadap Gerakan Tiga Kaki)
Oleh: *Che (Pengurus Koordinator Cabang PMII Jawa Timur)
Narasi sejarah mendedahkan fakta bahwa kelahiran PMII salah satunya adalah sebagai respon tehadap konteks pergulatan ideologi yang terjadi saat itu, tahun 1950-an, ketika Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno.
Menurut sejarawan Agus Sunyoto, Bung Karno lalu meminta kepada NU untuk mendirikan oganisasi mahasiswa Islam yang ‘Indonesia’ yang kelak dikenal dengan nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Bahkan, Bung Karno sendiri hadir pada kongres pertama organisasi yang pada lambangnya terdapat bintang sembilan ini, dengan pidatonya yang berapi-api: bahwa NKRI adalah harga mati.
Diktum NKRI harga mati sesungguhnya adalah nalar yang harus terus menjadi ruh dalam setiap gerakan yang diusung oleh masyarakat pergerakan ini, agar proporsi gerakannya tidak “keluar rel” apalagi sampai kontra poduktif dengan spirit para founding fathers-nya.
Tentu, ijtihad gerakan tersebut meniscayakan berbagai faktor yang membuatnya jadi terlaksana. Maka, ia butuh paradigma, konsepsi, analisis, sampai pada level praksis staretegis. Dan itu bisa dirangkum dalam satu ikatan mutlak yang harus selalu dievaluasi: kaderisasi. Maka, kaderisasi di PMII harus mencakup seluruh espketasi para “pendahulu” sekaligus juga harus mampu menjawab problematika yang terjadi masa kini. Itu “jihad akbar” bagi kaum pergerakan yang terus menerus harus digali.
Jika pada awal pembentukannya PMII berhadapan dengan riuh rendah kontestasi ideologi politik dan agama yang sangat mencekam dan menumbuhkan kegamangan, saat ini, “tipologi ideologis” itu nyaris tipis perbedannya, sulit diurai ujung pangkalnya, sehingga formulasi gerakan yang dijadikan solusi mempersyaratkan kekuatan yang “lebih” karena tantangannya semakin berat dengan tingkat problematika yang sangat akut, kronis, dan tentu sulit dicari benang merahnya, dirurai ujung-pangkalnya.
Untuk itu dalam tulisan singkat ini, ijinkan saya urun rembug tentang sedikit ide, senarai gagasan, dengan tujuan semata-mata pembenahan di tubuh PMII sendiri. Bahwa saya, sekecil apapun kontribusinya, bangga telah berkesempatan belajar di organisasi tercinta ini. Meski ada kejumudan dan sedikit jerah terhadap aktor-aktor (kader PMII) yang telah berani menodai perjalanan organisasi yang mulia ini. (Nantikan celoteh berikutnya mengenai kejumudan yang berseberangan dengan hati nurani)
Saya memulai dari sisi internal organisasi yang mengalami kejumudan sistemik. Banyak keluhan di tingkat kader mempertanyakan sistem kaderisasi karena fasenya nyaris hanya berkisar rekrutmen anggota Mapaba, PKD, dan kalau beruntung mereka bisa berproses sampai PKL.
Istilah EO atau event organizer yang diperankan oleh kader-kader “ingusan” bisa dibenarkan dalam konteks ini. Bahwa mereka terlalu disibukkan oleh urusan-urusan politik kampus mulai dari level prodi, fakultas, sampai rektorat. Seolah-olah mereka digiring hanya untuk pintar merekrut massa, lobi-lobi politik, tanpa terlebih dahulu bersentuhan dg dinamika kognisi keilmuan yang memadai.
Dalam konteks yang lebih makro, sistem di sini juga dipahami sebagai formula yang memungkinkan masing-masing elemen dari tingkat kader sampai alumni mampu bersinergi dengan baik, efektif dan efisien. Kontinuitas dan sistematisasi berbagai fungsi harus benar-benar membentuk mileu organisasi yang mampu menjadi media pembelajaran yang representatif.
Efek dari tumpulnya sistem yang berkelindan di tubuh organisasi ini pada gilirannya melahirkan gerakan yang timpang, atau malah involusi. Jadi, apa yang saya singgung di atas soal kaderisasi bisa kita petakan kondisinya dalam konteks ini.
Gerakan yang saya maksud adalah apa yang oleh beberapa pengamat disebut dengan “gerakan tiga kaki”. Pertama, gerakan intelektualisme. Tentu kita mafhum bahwa atmosfir intelektual di tubuh PMII kurang mendapat tempat, sehingga iklim literasi yang terbangun sangat minim sekali. Kedua, aktivisme sosial-politik.
Sebagaimana yang sudah saya singgung di atas, kecenderungan kader untuk berkarir di politik praktis sudah tersemai saat mereka aktif di berbagai kegiatan politik kampus. Terlebih mayoritas dari mereka mudah tersilaukan oleh senior-senior yang sudah mapan dan duduk manis di pos-pos staretgis di level birokrasi. Nah, jika kecenderungan ini terus berlanjut, maka gerakan yang ketiga, yakni spiritualisme akan mandek dengan sendirinya.
Kita menyaksikan dengan hati yang sedih, betapa masjid-masjid sudah dikuasai oleh mereka yang pro-khilafah, yang jelas-jelas merongrong NKRI. Tentu, kita tidak bisa mereduksi spiritualitas hanya semata-mata “masjid” dan ibadah ritual saja. Maka, sangat perlu adanya evaluasi di level sistem agar apa yang menjadi cita-cita para pendiri bisa tercapai dengan baik.
Berbicara mengenai PMII juga tidak lepas dari yang mejadi bagian sejarah. KOPRI akronim dari Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Puteri merupakan wadah kader-kader puteri PMII.
KOPRI lahir pada tanggal 25 september 1967, bertepatan dengan kongres ke III PMII di Malang Jawa Timur. Lahrinya KOPRI memunculkan berbagai polemik di internal tubuh PMII, antara pihak yang pro dan kontra yang kemudian menyebabkan carut marutnya kondisi KOPRI.
KOPRI lahir pada tanggal 25 september 1967, bertepatan dengan kongres ke III PMII di Malang Jawa Timur. Lahrinya KOPRI memunculkan berbagai polemik di internal tubuh PMII, antara pihak yang pro dan kontra yang kemudian menyebabkan carut marutnya kondisi KOPRI.
Dalam usia KOPRI yang sudah menginjak hampir setengah abad ini, sudah mengalamai dua kali pembubaran. KOPRI hadir sebagai bentuk responsive gender, sebagai wahana kaderisasi kader-kader puteri dalam berorganisasi. Lahir dan hadirnya KOPRI bukan semata-mata untuk membentuk dikotomi dalam internal PMII antara laki-laki dan perempuan, melainkan untuk memberikan kaderisasi khusus dalam mempersiapkan kader-kader perempuan yang sejatinya kader puteri juga memiliki potensi setara dengan kader laki-laki.
Berawal dari sebuah keresahan yang menjadi alasan mengapa KOPRI harus dibentuk, hal ini telah disepakati oleh kader puteri di forum kongres ke III PMII di malang. Anggapan bahwa kader puteri butuh pola pengkaderan tersendiri yang sesuai dengan kebutuhan kadernya. Hal tersebut menjadi motif baru dari adanya pola kaderisasi para umumnya.
Tidak sering dijumpai ketika berbincang mengenai pola kaderisasi dalam PMII yang kemudian memperhatikan khusus persoalan puteri yang sering kali terjadi ketmpangan social bahkan ketidak adilan dalam memposisikan kader puteri. Sering kali keterlibatan kader puteri hanya ditempatkan ke ranah domestic, yang bersifat inverior.
Berbicara mengenai konsep gender, hal yang mendasar yang perlu dibenahi oleh kader puteri sebagai bekal dalam memainkan isu-isu gender terlebih harus mengetahui persoalan yang terjadi di internal puteri. Analisis diri dalam diri perempuan yang perlu diterapkan sebelum menyikapi tuntutan peran dan fungsi yang setara.
Budaya patriarki dan budaya konsumerisme menjadi perhatian khusus yang perlu dibenahi dalam diri perempuan. Kedua hal tersebut adalah inti dari persoalan peremuan yang wajib diperangi. Bahwa perempuan memiliki potensi yang sama, maka sudah seharusnya perempuan siap dengan dasar keilmuan dan pengetahuan yang mumpuni. Tidak hanya sekedar berkumpul, berhimpun tanpa melakukan hal-hal yang bermanfaat.
Artinya, perempuan perlu membiasakan beraktivitas yang sifatnya produktif dan inovatif, perempuan siap dalam sisi intelektual, perempuan berani di ranah public dan perempuan mampu dipertaruhkan dalam setiap kesempatan. Sudah bukan saatnya perempuan diberdayakan, saatnya perempuan bergerak dengan penuh kesadaran dan kemapanan secara kwalitas.Salam Pergerakan.
ConversionConversion EmoticonEmoticon