Dalam sejarah perjalanan
bangsa pasca kemerdekaan Indonesia ,
mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa
Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru
tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu
pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus
menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan
keadilan.
Menurut Arbi Sanit, ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan
permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan
perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan
terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara
semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama
mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik
terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya
hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka.
Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan
kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam
masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda.
Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan
penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum
yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.
Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan
dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang
diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi
dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa.
Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan
akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra
universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi. Di Indonesia
terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan
ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa
Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi)
dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk
dikaji karena sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya,
namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan yang khas.
Berikut sekilas perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut: 1. Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Dipo HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk
mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat
Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik
serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan
langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek
kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang
memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang
bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur
yang diridhoi Allah. Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan
kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang
duduk di kabinet.
Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam
keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu,
sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual,
tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di
Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam
yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang
diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes,
Partai Islam No!.” 2. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Nahdlatul
Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960
di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan
mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII). Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural
menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun,
termasuk dari sang induknya, NU. Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang
peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung
dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam
menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai
senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan
pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual PMII
banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya
mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ketika situasi nasional mengarah pada
demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan
perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik
dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda
Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan
kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di
Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964. Sebagai organisasi otonom (ortom)
Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai
gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah;
Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran
melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual
enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah
melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang
memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah. Kedua, Value, ialah usaha untuk
mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga
terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an.
Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya
dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan
ikatan dalam pemberdayaan umat.
Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Kebijakan
pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar
ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan
Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi
pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik
berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut. PB (Pengurus
Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan
tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini dinilai sebagian cabang
seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai
kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut
berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan
HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas
Putih yang terbit 10 Agustus 1986 . Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak
melakukan aktifitas gerakannya secara sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an
ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik dengan Islam, HMI MPO mulai
nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang merupakan basis HMI MPO
seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto kader-kader mereka
cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya represi negara justeru
membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat. HMI MPO sendiri sedikit
mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka cenderung fundamentalis
dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan memperluas cakrawala
pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Tidak heran jika
banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis saat
ini.
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) KAMMI terbentuk dalam
rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga Da’wah Kampus) Nasional X di
Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998. Setidaknya ada dua
alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung
jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia serta
itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun
kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral
kepada pemerintah. Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI
melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam
pandangan KAMMI, krisis yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab
pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat.
Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali dengan
adanya pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya,
harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Setelah tidak kuat
menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan
jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia belumlah selesai,
masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang
pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan
menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor,
pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.Menyoal kematian tokoh presiden
kedua yaitu bapak pembangunan kita Muhammad H. Suharto, mahasiswa seolah
dibungkam oleh sepak terjang beliau yang secara sepintas media media
megnggambarkan bagaimana segi segi positif yang pernah diberikan oleh seorang
jendral besar tersebut. Dalam masalah ini sungguh jelas memberi gambaran pada
kita bahwa paradigma idiologi mahasiswa seolah hanya berbicara masalah konsepan
isu-isu konservatif semata dalam tataran data dan fakta dalam kaitannya dengan
penyimpangan dan kesalahan penguasa tersebut tanpa adanya konsepan empiric yang
bias di pertanggungjawabkan secara penuh dan konsekuen.
Pengantar
Dalam
konsep developmentalisme yang dikembangkan di negara-negara berkembang
–kasus Indonesia misalnya- telah berhasil menciptakan berbagai kemajuan yang
bersifat material. Pembangunan memang menjadi ’kata kunci’ bagi keinginan untuk
’mengejar ketertinggalan’ dengan negara lain atau dengan daerah lain.
Karenanya, di setiap daerah yang ’dibangun’ akan terlahir berbagai bentuk
akitivitas-aktivitas yang diselenggarakan untuk kepentingan tersebut.
Dalam
konteks ini, untuk mempercepat implementasi tersebut dalam berbagai bidang;
maka negara akan melahirkan sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan aktivitas
pembangunan. Kebijakan (publik) menjadi penting dalam logika negara agar setiap
aktivitas pembangunan memperoleh legitimasi yuridis formal; dan (tragisnya)
dapat bersembunyi ketika implementasi pembangunan harus bersentuhan (dan
memunculkan problem konflik) dengan kepentingan lain. Misalnya, pembangunan
jalan yang melahirkan penggusuran atau ganti rugi yang tidak adil, penggusuran
Pedagang Kaki Lima karena alasan penertiban kota, siswa DO karena alasan tidak
sanggup membayar sejumlah biaya, dan sebagainya.
Kebijakan
dalam logika negara adalah untuk kepentingan publik, makanya diberikanlah
istilah kebijakan publik. Perspektif negara dalam konteks kebijakan publik ini
akhirnya memberikan implikasi logis untuk memposisikan rakyat pada posisi
objek, bukan sebagai subjek pembangunan. Menjadi wajar jika kemudian paradigma
demikian (rentan) melahirkan realitas paradoks dalam pembangunan; untuk
mensejahterakan rakyat atau justru sebaliknya. Karena ternyata dalam berbagai
kasus, ada banyak kebijakan (publik) pembangunan justru melahirkan situasi
kontraproduktif.
Kasus-kasus
konflik yang melibatkan negara di satu sisi dan melibatkan rakyat di sisi lain
terkait dengan lahirnya sejumlah kebijakan merupakan faka yang tidak dapat
ditutup-tutupi. Ada banyak kebijakan
yang akhirnya (dianggap) tidak berpihak pada kepentingan publik, kecuali
kepentingan ekonomi-politik negara atau kekuasaan. Fakta bahwa dalam setiap
konflik antara negara (baca: kekuasaan) dengan rakyat ternyata tidak pernah
menguntungkan rakyat, karena hampir tidak pernah ada konflik antara keduanya
dimenangkan oleh rakyat. Tatkala rakyat dirugikan dalam berbagai kebijakan
tersebut, maka lahirlah sejumlah kegiatan untuk memberikan pendampingan bagi
rakyat atau siapa saja yang mendapatkan perlakuan ’tidak adil’ tersebut.
Pendampingan-pendampingan tersebut, baik yang dilakukan oleh Lembaga bantuan
Hukum, LSM atau lembaga-lembaga yang konsen dengan perjuangan keadilan sosial,
merupakan suatu bentuk advokasi.
Konsep Advokasi
Banyak
orang masih menganggap bahwa advokasi merupakan kerja-kerja pembelaan hukum
(litigasi) yang dilakukan oleh pengacara dan hanya merupakan pekerjaan yang
berkaitan dengan praktek beracara di pengadilan. Pandangan ini kemudian
melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang disebut sebagai advokasi.
Seolah-olah, advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli dari organisasi yang
berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata. Pandangan semacam itu bukan
selamanya keliru, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Mungkin pengertian advokasi
menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari padanan kata advokasi itu
dalam bahasa Belanda, yakni advocaat yang tak lain memang berarti
pengacara hukum atau pembela. Namun kalau kita mau mengacu pada kata advocate
dalam pengertian bahasa Inggris, maka pengertian advokasi akan menjadi
lebih luas. Misalnya saja dalam kamus bahasa Inggris yang disusun oleh Prof.
Wojowasito, Alm., Guru Besar IKIP Malang (kini Universitas Negeri Malang) yang
diterbitkan sejak tahun 1980, kata advocate dalam bahasa Inggris dapat
bermakna macam-macam. Avocate bisa berarti menganjurkan, memajukan (to
promote), menyokong atau memelopori. Dengan kata lain, advokasi juga bisa
diartikan melakukan ‘perubahan’ secara terorganisir dan sistematis.
Menurut
Mansour Faqih, Alm., dkk, advokasi adalah usaha sistematis dan terorganisir
untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik
secara bertahap-maju (incremental). Julie Stirling mendefinisikan
advokasi sebagai serangkaian tindakan yang berproses atau kampanye yang
terencana/terarah untuk mempengaruhi orang lain yang hasil akhirnya adalah
untuk merubah kebijakan publik. Sedangkan menurut Sheila Espine-Villaluz,
advokasi diartikan sebagai aksi strategis dan terpadu yang dilakukan perorangan
dan kelompok untuk memasukkan suatu masalah (isu) kedalam agenda
kebijakan, mendorong para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah
tersebut, dan membangun basis dukungan atas kebijakan publik yang diambil untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Dari berbagai pengertian advokasi diatas, kita
dapat membagi penjelasan itu atas empat bagian, yakni aktor atau pelaku,
strategi, ruang lingkup dan tujuan.
Mengingat
advokasi dalam perkembangannya digunakan untuk berbagai macam kepentingan, maka
advokasi dalam pembahasan ini tak lain adalah advokasi yang bertujuan
memperjuangkan keadilan sosial. Dengan kata lain, advokasi yang dirumuskan
merupakan praktek perjuangan secara sistematis dalam rangka mendorong
terwujudnya keadilan sosial melalui perubahan atau perumusan kebijakan publik.
Meminjam bahasa Mansour Faqih, advokasi yang dimaksud adalah advokasi keadilan
sosial.
Penegasan
ini penting untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman yang akan berujung pada
kesalahan menerapkan strategi dan tujuan. Bagaimanapun banyak lembaga atau
organisasi yang merasa prihatin dengan kenyataan sosial, kemudian mengupayakan
sesuatu, namun pada akhirnya terjebak pada kesalahan dalam mendiagnosa masalah.
Misalnya saja organisasi yang berjuang memberantas kemiskinan yang menggunakan
pendekatan sedekah (charity) belaka dengan membagi-bagi uang dan sebagainya
tanpa pernah mempertanyakan apa yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin.
Membantu
orang yang sedang dalam kesulitan/kemiskinan dengan sedekah memang tidak salah,
bahkan dianjurkan. Namun tindakan itu tidak strategis karena tidak dapat
menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dengan kata lain, sedekah merupakan
tindakan yang hanya menyelesaikan akibat, bukan sebab. Demikian halnya dengan
masalah-masalah lain yang menyangkut harkat hidup orang banyak, khususnya
masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial.
Mengapa Kebijakan?
Sesungguhnya
masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat merupakan dampak dari
hubungan dan tarik-menarik kepentingan antara tiga aktor/pelaku governance,
yakni negara, swasta dan masyarakat. Ketika hubungan itu berjalan tidak
seimbang, biasanya terjadi karena ada persekongkolan antara negara dan swasta,
maka dapat dipastikan akan lahir kebijakan-kebijakan korup yang sangat
merugikan masyarakat. Ruang lingkup kebijakan publik itu sendiri meliputi
peraturan (rules), regulasi, standarisasi, Undang-Undang, pernyataan
dan Instruksi (Decree) yang memiliki fungsi sebagai norma umum,
standar etika maupun sanksi.
Satu
bentuk produk kebijakan yang merugikan masyarakat luas misalnya saja kebijakan
Pemerintah Megawati mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 mengenai Release
and Discharge (R&D) yang membebaskan sekaligus memberikan jaminan
tidak akan dituntut secara hukum bagi para konglomerat pengguna BLBI yang telah
melunasi utang mereka.
Kebijakan
ini sungguh konyol dan merugikan masyarakat luas karena pemerintah sama sekali
tidak memperhatikan dimensi pidana korupsi, adanya moral hazard,
pelanggaran prinsip prudential dalam berbagai kasus BLBI. Pemerintah
menganggap kasus BLBI hanya merupakan perkara perdata utang-piutang saja.
Padahal dana negara (baca: masyarakat) yang digunakan untuk BLBI mencapai Rp
600 triliun. Di sisi lain, Pemerintah SBY telah mengeluarkan kebijakan
menaikkan harga BBM dengan mencabut subsidi BBM bagi masyarakat miskin karena
subsidi dianggap membebani anggaran negara. Berapa anggaran yang dibutuhkan
untuk mensubsidi BBM? Menurut Menko Perekonomian, Aburizal Bakrie, mencapai Rp
69 Triliun dengan asumsi harga minyak dunia per barel adalah US$ 37. Coba
bandingan dengan dana BLBI yang dipakai untuk ‘mensubsidi’ para konglomerat
perbankan yang mencapai Rp 600 triliun.
Kebijakan
yang mengantarkan pada terciptanya situasi ketidakadilan, kerusakan dan
kemiskinan tidak hanya berdimensi nasional, namun juga menjadi masalah di
tingkat lokal. Misalnya saja kebijakan penyusunan APBD yang telah disahkan
dalam Perda di beberapa daerah banyak diprotes warga. Hal ini terjadi karena
beberapa hal. Pertama, dari sisi perimbangan, dana yang dialokasikan
untuk belanja rutin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan belanja publik. Kedua,
kebutuhan akan belanja publik seringkali tidak ada kaitannya langsung
dengan kebutuhan real masyarakat sehingga rawan dikorupsi. Kasus korupsi dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah, terutama yang menyangkut pembelian kapal,
pesawat, helikopter yang saat ini sedang ramai diperbincangkan merupakan salah
satu contoh kecil betapa alokasi anggaran untuk belanja publik seringkali tidak
mengacu pada kebutuhan konkret masyarakat. Ketiga, anggaran untuk
menopang operasional eksekutif dan legislatif kerap kali tidak masuk akal
karena alokasinya sangat besar.
Dari
beberapa contoh kasus diatas, kita dapat melihat secara jelas bahwa akar
masalah yang menjadi penyebab kerugian bagi masyarakat luas adalah karena
adanya kebijakan. Dengan demikian, advokasi sesungguhnya adalah mempersoalkan
ketidakadilan struktural dan sistematis yang tersembunyi di balik suatu
kebijakan, undang-undang atau peraturan yang berlaku. Maka melakukan advokasi
juga mempersoalkan hal-hal yang berada di balik suatu kebijakan, secara tidak langsung
mulai mencurigai adanya bibit ketidakadilan yang tersembunyi dibalik suatu
kebijakan resmi.
Oleh
karena itu, tujuan dari advokasi keadilan sosial adalah bagaimana
mengupayakan/mendorong lahirnya sebuah kebijakan publik yang adil, bagaimana
merubah kebijakan publik yang tidak adil dan bagaimana mempertahankan kebijakan
yang sudah adil dengan suatu strategi. Sebuah kebijakan publik tidak akan
pernah dibuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat luas. Walaupun dalam proses
pembuatan kebijakan publik terdapat wakil rakyat, tapi hal itu tidak akan
pernah menjamin bahwa kepentingan rakyat akan menjadi prioritas. Hal ini karena
aktor perumus dan pembuat kebijakan memiliki logika kekuasaan dan kepentingan
sendiri untuk beroperasi. Apalagi jika ruang publik dalam kehidupan politik
tidak mendapatkan jaminan dalam sistem dan konstitusi.
Agar
kebijakan publik tidak menjadi alat yang justru meminggirkan kepentingan
publik, karena digunakan sebagai alat kekuasaan sebuah bangsa untuk
melakukan/melegitimasi perbuatan-perbuatan korup dan manipulatif bagi
kepentingan segelintir orang, kebijakan publik harus selalu bersinggungan
dengan konsep demokrasi. Artinya kebijakan publik tidak sekedar disusun atau
dirancang oleh para pakar dan elit penguasa yang mengatasnamakan kepentingan
masyarakat banyak, melainkan harus menoleh pada opini publik yang beredar.
Demokratis atau tidaknya perumusan kebijakan publik yang telah dilakukan akan
sangat tergantung dari luas atau tidaknya ruang publik sendiri. Oleh karenanya,
perluasan ruang publik dengan melakukan reformasi konstitusional yang
mengarahkan pada transparansi dan keterbukaan yang lebih besar dalam proses
politik yang ada pada sebuah negara harus dilakukan.
Advokasi: Kerangka Analisis, Kerangka Kerja dan Kerangka Jaringan
Mengingat
advokasi merupakan kegiatan atau usaha untuk memperbaiki/merubah kebijakan
publik sesuai dengan kehendak mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau
perubahan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami apa sesungguhnya
kebijakan publik itu. Salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami
suatu kebijakan publik adalah dengan melihat sebuah kebijakan itu sebagai suatu
sistem hukum. Secara teoritis, sistem hukum mengacu pada tiga hal:
Pertama, isi hukum (content of law) yakni uraian atau penjabaran tertulis
dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk UU, PP, Keppres dan lain
sebagainya atau karena adanya ‘kesepakatan umum’ (konvensi) tidak tertulis yang
dititikberatkan pada naskah (teks) hukum tertulis atau aspek tekstual dari
sistem hukum yang berlaku.
Kedua, tata laksana hukum (structure of law) yang merupakan seperangkat
kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku. Dalam pengertian ini
tercakup lembaga-lembaga hukum (pengadilan, penjara, birokrasi, partai politik
dll) dan para aparat pelaksananya (hakim, jaksa, pengacara, polisi, tentara,
pejabat pemerintah, anggota parlemen).
Ketiga, adalah budaya hukum (content of law) yakni persepsi, pemahaman,
sikap penerimaan, praktek-praktek pelaksanaan, penafsiran, penafsiran terhadap
dua aspek hukum diatas, isi dan tata-laksana hukum. Oleh karena itu idealnya
suatu kegiatan atau program advokasi harus mencakup sasaran perubahan
ketiga-tiganya. Dengan demikian, suatu kegiatan advokasi yang baik adalah yang
secara sengaja dan sistematis didesain untuk mendesakkan terjadinya perubahan,
baik dalam isi, tata-laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Perubahan itu
tidak harus selalu terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun bisa saja bertahap
atau berjenjang dari satu aspek hukum tersebut yang dianggap merupakan
titik-tolak paling menentukan.
Untuk
melakukan advokasi pada tiga aspek hukum diatas, perlu dilakukan pendekatan
yang berbeda mengingat ketiga aspek hukum tersebut dihasilkan oleh
proses-proses yang memiliki kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, menurut Roem,
kegiatan advokasi harus mempertimbangkan dan menempuh proses-proses yang
disesuaikan sebagai berikut:
Proses-proses legislasi dan juridiksi,
yakni
kegiatan pengajuan usul, konsep, penyusunan academic draft hingga praktek
litigasi untuk melakukan judicial review, class action, legal standing untuk
meninjau ulang isi hukum sekaligus membentuk preseden yang dapat mempengaruhi
keputusan-keputusan hukum selanjutnya.
Proses-proses politik dan birokrasi,
yakni
suatu upaya atau kegiatan untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksana peraturan
melalui berbagai strategi, mulai dari lobi, negoisasi, mediasi, tawar menawar,
kolaborasi dan sebagainya.
Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi,
yakni
suatu kegiatan untuk membentuk pendapat umum dan pengertian yang lebih luas
melalui kampanye, siaran pers, unjuk rasa, boikot, pengorganisasian basis,
pendidikan politik, diskusi publik, seminar, pelatihan dan sebagainya. Untuk
membentuk opini publik yang baik, dalam pengertian mampu menggerakkan sekaligus
menyentuh perasaan terdalam khalayak ramai, keahlian dan ketrampilan untuk
mengolah, mengemas isu melalui berbagai teknik, sentuhan artistik sangat
dibutuhkan.
Mengingat
advokasi merupakan pekerjaan yang memiliki skala cukup besar (karena sasaran
perubahan ada tiga aspek), maka satu hal yang sangat menentukan keberhasilan
advokasi adalah pada strategi membentuk jaringan kerja advokasi atau jaringan
kerja organisasi. Pasalnya kegiatan advokasi adalah pekerjaan multidimensi,
sehingga dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak dengan spesifikasi keahlian
yang berbeda dalam satu koordinasi yang sistematis dan terpadu. Sebagai
catatan, tidak ada satu organisasipun yang dapat melakukan sendiri kegiatan
advokasi tanpa ada jaringan atau dukungan dari kelompok lainnya. Justru semakin
besar keterlibatan berbagai pihak, akan semakin kuat tekanan yang dapat
diberikan dan semakin mudah kegiatan advokasi dilakukan.
Untuk
membentuk jaringan organisasi advokasi yang kuat, dibutuhkan bentuk-bentuk
jaringan yang memadai. Sekurang-kurangnya terdapat tiga bentuk jaringan
organisasi advokasi yang satu sama lainnya memiliki fungsi dan peranan advokasi
yang berbeda, namun berada pada garis koordinasi dan target yang sama :
Jaringan
kerja garis depan (front lines) yakni jaringan kerja yang memiliki
tugas dan fungsi untuk menjadi juru bicara organisasi, melakukan lobi,
melibatkan diri dalam aksi yuridis dan legislasi serta penggalangan lingkar
sekutu (aliansi). Tentunya pihak-pihak yang hendak terlibat dalam kegiatan
advokasi jaringan kerja garis depan setidaknya harus memiliki teknik dan
ketrampilan untuk melakukan tugas dan fungsi jaringan ini.
Jaringan
kerja basis yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk melakukan
kerja-kerja pengorganisasian, membangun basis massa, pendidikan politik kader,
mobilisasi aksi dan membentuk lingkar inti.
jaringan
kerja pendukung yakni jaringan kerja yang memiliki tugas dan fungsi untuk
mendukung kerja-kerja advokasi dengan cara mengupayakan dukungan logistic,
dana, informasi, data dan akses.
Berhasil
atau tidaknya advokasi yang kita lakukan sangat tergantung dari penyusunan
strategi yang kita buat. Oleh karena itu dalam menyusun strategi advokasi harus
mempertimbangkan beberapa aspek penting yang sangat menentukan keberhasilan
advokasi. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut:
bahwa
dalam advokasi kita harus menentukan target yang jelas. Maksudnya
kita harus menentukan kebijakan publik macam apa yang akan kita ubah. Apakah
itu UU, Perda atau produk hukum lainnya.
kita
juga harus menentukan prioritas mengingat tidak semua kebijakan bisa diubah
dalam waktu yang cepat. Karena itu, kita harus menentukan prioritas mana dari
masalah dan kebijakan yang akan diubah.
Realistis. Artinya bahwa kita tidak mungkin dapat mengubah seluruh kebijakan public.
Oleh karena itu kita harus menentukan pada sisi-sisi yang mana kebijakan itu
harus dirubah. Misalnya pada bagian pelaksanaan kebijakan, pengawasan kebijakan
atau yang lainnya.
Batas
waktu yang jelas. Alokasi waktu yang jelas akan menuntun kita dalam
melakukan tahap-tahap kegiatan advokasi, kapan dimulai dan kapan akan selesai.
dukungan logistik. Dukungan sumber daya manusia dan dana sangat dibutuhkan
dalam melakukan kegiatan advokasi
Analisa
Ancaman dan Peluang.
Kaidah-kaidah
advokasi
Sebagai kegiatan
yang terencana dan sistematis, maka ada beberapa kaidah yang menjadi pegangan
bagi tiap orang yang melakukan advokasi. Kaidah-kaidah tersebut adalah;
Mencermati
posisi kasus; digunakan untuk memetakan persoalan yang berisikan identifikasi
masalah, potensi dan peluang serta jangka waktu yang dikerjakan.
Identifikasi
siapa kawan dan siapa lawan; dilakukan untuk memperkecil lawan dan memperbanyak
kawan, melalui identifikasi siapa saja yang mendukung dan siapa saja yang
menentang.
Kerjakan rencana
yang sudah dibuat; agar tidak secara tibga-tiba mengubah sasarab dan target
yang sudah disepakati dan disusun.
Tetap konsisten
pada masalah
Jangan mudah
ditakuti atau diintimidasi
Berimajinasilah
Berdoalah
Cara
Melakukan Advokasi
Advokasi untuk
menuntut perubahan kebijakan dapat dilakukan dengan cara yang yang biasa
dinamakan dengan langkah legislasi. Misalnya, counter draf (pengajuan
konsep-konsep tanding), judicial review (hak uji materiil) atau
langkah-langkah ligitasi dengan menguji di pengadilan lewat satu kasus.
Penggunaan lobi,
strategi negosiasi, mediasi dan kolaborasi. Hal ini memerlukan jaringan yang
kuat dan luas. Paling tidak ada 3 kekuatan yang menjadi basis dukungan, pertama,
kerja pendukung yang menyediakan dukungan dana, logistik informasi dan akses, kedua,
kerja basis menjadi dapur gerakan dalam membangun basis masa, lewat pendidikan
kader atau membentuk lingkar inti dan melakukan mobilisasi aksi, dan ketiga,
kerja garis depan yang menjalankan fungsi sebagai juru bicara, perunding,
pelobi, dan terlibat dalam upaya penggalangan dukungan.
Melakukan
kampanye, siaran pers, unjuk rasa, mogok, boikot, peroganisasian basis dan
pendidikan politik. Mlelaui pemanfaatan jaringan yang ada, pertama,
lingkaran inti yaitu mereka yang tergolong sebagai penggagas, pemrakarsa
pendiri, penggerak utama sekaligus pengendali arah kebijakan, tema atau isu
dari sasaran advokasi. Biasanya kelompok inti adalah mereka yang mempunyai
kesamaan ideologi. Kedua, adalah jaringan sekutu, yang melakukan
kerja-kerja aksis, biasanya terdiri dari mereka yang mempunyai kesamaan
kepentingan.
Penutup
Demikianlah
berbagai catatan tentang advokasi. Pada intinya advokasi biasanya
diselenggarakan melalui dua bentuk. Pertama, jalur non ligitasi (tanpa melalui
pengadilan atau yang lebih dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif, dan
kedua, jalur ligitas yakni melalui proses pengadilan. Jalur-jalur tersebut
biasanya dilakukan dengan melihat efektifitas sebuah gerakan advokasi. Terimakasih.
PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF
By: Team Materi PKT (Materi PKD
2010)
Apakah Paradigma itu?
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas
Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The Struktur Of
Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The
Sociologi Of Sociology; 1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan
Philips (1973).
Sementara Khun
sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas
pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang
berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman
diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma.
Paradigma metafisik
yang mengacu
pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan.
Paradigma Sosiologi
yang mengacu
pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara
umum.
Paradigma Konstrak
sebagai sesuatu
yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma
pembangunan, paradigma pergerakan dll.
Masterman
sendiri merumuskan paradigma sebagai
“pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari
(a fundamental image a dicipline has of its subject matter).
Sedangkan George Ritzer
mengartikan paradigma sebagai apa yang
harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana
seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab
persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana
sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata
untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir
sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
Apakah yang disebut Teori kritis?
Apa sebenarnya makna “Kritis”? Menurut
kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi
atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha
melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis,
berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt.
Dengan kata
lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial,
Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman.
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi
pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan
epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt - paradigma kritis)
dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina - paradigma neo positivisme/neo kantian).
Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas
(kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme
dalam sosiologi Jerman.
Habermas
adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran
dialektis Teori Kritis. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan
sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter
Schule).
Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine
Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang
membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori
kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi
pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis
marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah
masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh
Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno
(musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich
Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal
(sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger
yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya
Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika).
Pada intinya
madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi
determinisme ekonomi. Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan
terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi)
sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan
dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik
terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak
hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga
memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society).
Seluruh program
teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang
ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer.
Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle
und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul.
Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor
Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian
dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang
terkenal dengan teori komunikasinya.
Diungkapkan Goerge
Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi :
Teori Marxian
yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi.
Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode
sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi.
Teori- teori
sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo.
Kritik terhadap
masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar
instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi.
Kritik
kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan.
Madzhab Frankfrut
mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
Berpikir dalam totalitas (dialektis)
Berpikir empiris-historis
Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis
Berpikir dalam realitas yang tengah dan
terus bekerja (working reality).
Mereka mengembangkan apa yang disebut
dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur
sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat.
Teori Kritis
berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel
Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud.
Kritik
dalam pengertian Kantian.
Immanuel Kant
melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif
sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant
menumpukkan analisisnya pada aras epistemologis; tradisi filsafat yang bergulat
pada persoalan “isi” pengetahuan. Untuk menemukan
kebenaran, Kant mempertanyakan “condition of possibility” bagi
pengetahuan. Bisa juga disederhanakan bahwa kitik Kant terhadap epistemologi
tentang (kapasitas rasio dalam persoalan pengetahuam) bahwa rasio dapat
menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri dan dapat menjadi ‘pengadilan
tinggi’. Kritik ini bersifat transendental. Kritik dalam pengertian pemikiran
Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan
tanpa prasangka.
Kritik dalam pengertian Hegelian.
Kritik dalam makna Hegelian merupakan
kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu
“meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian
kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang
menuju ruh absolute. Hegel merupakan peletak dasar
metode berpikir dialektis yang diadopsi dari prinsip tri-angle-nya Spinoza
Diktumnya yang terkenal adalah therational is real, the real is rational.
Sehingga, berbeda dengan Kant, Hegel memandang teori kritis sebagai proses
totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme
bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan pengingkaran atas sesuatu yang sudah
ada. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas
tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam
sejarah manusia.
Kritik dalam pengertian Marxian.
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang
berjalan dengan kepala. Ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang
terlalu idealis, yang memandang bahwa, yang berdialektika adalah pikiran. Ini
kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material
dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi
masyarakat). Sehingga teori kritisbagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri
dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat.
Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari
alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam
masyarakat.
Kritik dalam pengertian Freudian.
Madzhab frankfrut menerima Sigmun Freud
karena analisis Freudian mampu memberikan basis psikologis masyarakat dan mampu
membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Freud memandang
teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya. Artinya, bahwa
orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya
sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi
atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran.
Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap
sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.Berdasarkan empat
pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar
kontemplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat
emansipatoris.
Sedang teori
yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat :
Bersifat kritis
dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
Berfikir secara historis, artinya selalu
melihat proses perkembangan masyarakat.
Tidak memisahkan
teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk
mendapatkan hasil yang obyektif.
Paradigma
Kritis; Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenal adanya tiga jenis utama
paradigma:
Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
Inti dari paradigma keteraturan adalah
bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian
atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan
sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional
terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya,
merupakan suatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang
kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional.
Secara eksternal paradigma ini dituduh a
historis, konservatif, pro-satus quo dan karenanya, anti-perubahan. Paradigma
ini mengingkari hukum kekuasaan : setiap ada kekuasaan senantiasa ada
perlawanan.
Conflic Paradigm (Paradigma Konflik)
Secara konseptual paradigma Konflik
menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa
:- Setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak
perubahan- Perubahan tidak selalu gradual; namun juga
revolusioner- Dalam jangka panjang sistem sosial harus
mengalami konflik sosial dalam lingkar setan (vicious circle) tak berujung
pangkal Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma
konflik. Konflik dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin
dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik menjadi instrument perubahan.
Plural Paradigm (Paradigma plural)
Dari
kontras/perbedaan antara paradigma keteraturan dan paradigma konflik tersebut
melahirkan upaya membangun sintesis keduanya yang melahirkan paradigma plural.
Paradigma plural memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki
otoritas serta otonomi untuk melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas
sosial yang ada disekitarnya.
Terbentuknya Paradigma Kritis
Ketiga paradigma
di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic
pertumbuhan teori sosiologi telah lahir Paradigma kritis setelah
dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.
Paradigma
pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya
bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas
untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam
paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi
satu kelompok pada kelompok yang lain.. Apabila disimpulkan apa yang
disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam melakukan tafsir
sosial atau pembacaan terhadap realitas masyarakat bertumpu pada:
Analisis
struktural: membaca
format politik, format ekonomi dan politik hukum suatu masyarakat, untuk
menelusuri nalar dan mekanisme sosialnya untuk membongkar pola dan relasi
sosial yang hegeminik, dominatif, dan eksploitatif.
Analisis ekonomi untuk menemukan fariabel ekonomi politikbaik pada level nasional
maupun internasional.
Analisis kritis yang membongkar “the dominant ideology” baik itu berakar pada
agama, nilai-nilai adat, ilmu atau filsafat. Membongkar logika dan mekanisme formasi suatu
wacana resmi dan pola-pola eksklusi antar wacana.
Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di
masyarakat.
Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar
tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level
individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
Kritis dan Transformatif
Namun Paradigma kritis baru menjawab
pertanyaan : struktur formasi sosial seperti apa yang sekarang sedang bekerja.
Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working-sistem yang
menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif, dan eksploitatif; namun
belum mampu memberikan prespektif tentang jawaban terhadap formasi sosial
tersebut; strategi mentransformasikannya; disinilah “Term Transformatif”
melengkapi teori kritis.
Dalam perspektif Transformatif
dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya
menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal
sejarah; entah kaum miskin kota
(KMK), buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara
bersama-sama. Disisi lain makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan
dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat.
Model-model
transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
Transformasi dari Elitisme ke
Populisme
Dalam model tranformasi ini digunakan
model pendekatan, bahwa mahasiswa dalam melakukan gerakan sosial harus setia
dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi buruh,
advokasi petani, pendampingan terhadap masyarakat yang digusur akibat adanya
proyek pemerintah yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum
kapitalis) dengan pembuatan mal-mal, yang kesemuanya itu menyentuh akan
kebutuhan rakyat secara riil. Fenomena yang terjadi masih banyak mahasiswa yang
lebih memprioritaskan isu elit, melangit dan jauh dari apa yang dikehendaki
oleh rakyat, bahkan kadang sifatnya sangat utopis. Oleh karena itu, kita sebagai kaum intelektual
terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri. Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada
gerakan yang bersifat horisontal.
Transformasi dari Negara ke
Masyarakat
Model
tranformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke masyarakat. Kalau kemudian
kita lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Karl Marx
terhadap G.W.F. Hegel. Hegel memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute
yang harus ditaati kebenarannya dalam memberikan kebijakan terhadap rakyatnya.
Disamping itu, Hegel mengatakan bahwa Negara adalah satu-satunya wadah yang
paling efektif untuk meredam terjadinya konflik internal secara nasional dalam
satu bangsa. Hal ini dibantah Marx. Marx mengatakan bahwa justru masyarakatlah
yang mempunyai otoritas penuh dalam menentukan kebijakan tertinggi. Makna
transformasi ini akan sesuai jika gerakan mahasiswa bersama-sama rakyat
bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan yang terjadi
disetiap bangsa atau Negara.
Transformasi
dari Struktur ke Kultur.
Bentuk transformasi ketiga adalah
transformasi dari struktur ke kultur, yang mana hal ini akan bisa terwujud jika
dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak
sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada masa orde baru,
akan tetapi seharusnya kebijakan ini bersifat desentralistik. Jadi, aspirasi
dari bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil
keputusan, hal ini karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan, dan
yang paling bersinggungan langsung dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.
Transformasi dari Individu ke Massa
Model
transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam
disiplin ilmu sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah mahluk sosial, yang
sangat membutukan kehadiran mahluk yang lain. Bentuk-bentuk komunalitas ini
sebenarnya sudah dicita-citakan oleh para foundhing fathers kita tentang
adanya hidup bergotong royong.
Rasa egoisme dan individualisme haruslah
dibuang jaung-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan
oleh Tan Malaka (Sang Nasionalis Kiri), adalah adanya aksi massa . Hal ini tentunya
setiap perubahan meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam
menyatukan program perjuangan menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).
Paradigma Kritis Transformatif (PKT )
yang diterapkan di PMII?
Dari paparan diatas, terlihat bahwa PKT
sepenuhnya merupakan proses pemikiran manusia, dengan demikian dia adalah
sekuler. Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat
tuduhan sekuler jika pola pikir tersebut diberlakukan. Untuk menghindari dari
tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi penerapan PKT dalam tubuh
warga pergerakan.
Dalam hal ini, paradigma kritis
diberlakukan hanya sebagai kerangka berpikir dan metode analisis dalam
memandang persoalan. Dengan sendirinya dia tidak dilepaskan dari
ketentuan ajaran agama, sebaliknya justru ingin mengembalikan dan memfungsikan
ajaran agama sebagaimana mestinya. PKT berupaya menegakkan harkat dan martabat
kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan,
membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini
adalah pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Islam. Oleh karenanya
pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan
PKT di kalangan warga PMII.
.
.
.BACA JUGA :
.
SEJARAH PMII LOKAL
.
" Bukanlah PENGECUT orang yang menghindar dari peluru, namun BODOHLAH orang yang menantang peluru tersebut hanya untuk jatuh dan tidak bangkit kembali"
.
PMII, HMI, IMM Kemanakah Engkau ?
.
SEPINTAS TENTANG GERAKAN MAHASISWA
.
Organisasi (PMII) dan Perubahan
.
MELAWAN PENJAJAHAN LEWAT KAMPUS
.
HANYA ADA DUA KATA, LAWAN DAN HANCURKAN !!!!
.
GERAKAN MAHASISWA
.
STUDY GENDER DAN KELEMBAGAAN KOPRI
.
SEJARAH NEGARA BANGSA INDONESIA
.
NDP (Nilai Dasar Pergerakan) PMII
.
VISI DAN MISI PMII
.
ANTROPOLOGI KAMPUS
.
.
.BACA JUGA :
.
SEJARAH PMII LOKAL
.
" Bukanlah PENGECUT orang yang menghindar dari peluru, namun BODOHLAH orang yang menantang peluru tersebut hanya untuk jatuh dan tidak bangkit kembali"
.
PMII, HMI, IMM Kemanakah Engkau ?
.
SEPINTAS TENTANG GERAKAN MAHASISWA
.
Organisasi (PMII) dan Perubahan
.
MELAWAN PENJAJAHAN LEWAT KAMPUS
.
HANYA ADA DUA KATA, LAWAN DAN HANCURKAN !!!!
.
GERAKAN MAHASISWA
.
STUDY GENDER DAN KELEMBAGAAN KOPRI
.
SEJARAH NEGARA BANGSA INDONESIA
.
NDP (Nilai Dasar Pergerakan) PMII
.
VISI DAN MISI PMII
.
ANTROPOLOGI KAMPUS
ConversionConversion EmoticonEmoticon